Ini cerita tentang Bone, sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan. For the first time of my life, saya menginjakkan kaki di Bone. Senang sekali rasanya. Kabupaten Bone adalah salah satu daerah otonom di provinsi Sulawesi Selatan.
Hari Senin 15 Juli tahun 2013 lalu saya berangkat ke Bone bersama kakak dan ponakan saya menggunakan mobil travel. Waktu itu lagi musim hujan, jadi pagi itu cuacanya mendung-mendung gerimis.
Keluar dari Kota Makassar yang luasnya minta ampun, kita harus melewati Kabupaten Maros dulu baru bisa sampai ke Bone. Maros terkenal dengan rotinya yang lembut dengan macam-macam isinya. So, begitu masuk ke Kota Maros, kami mampir sebentar membeli roti Maros.
Perjalanan selepas Kota Maros cukup melelahkan karena jalan yang bekelok-kelok. Meski demikian, mata enggan terpejam untuk sekedar tidur-tiduran di mobil. Pemandangan yang hijau dan luar biasa indah mengalahkan hasrat mabuk kendaraan. Apalagi ketika melewati daerah Kappang meski jalannya masih sama meliuk-liuk namun kita berjalan di dalam kawasan hutan lindung. Di kiri kanan jalan hanyalah pohon-pohon hijau menjulang tinggi dan batuan besar yang menyerupai tebing. Lepas dari perjalanan yang berkelok-kelok masih ada lagi jalan yang tetap membuatku terjaga yaitu jalanan yang tak hanya meliuk tapi juga dapat bonus menanjak-menurun. Entah karena itu adalah musim liburan atau memang setiap hari seperti itu, cukup banyak travel dan mobil-mobil pribadi yang menuju Bone dari Makassar pada hari itu. Ini menjadikan perjalanan berkelok menanjak menuju Bone menjadi unik. Kita bisa melihat rentetan kendaraan di depan dan di belakang kita pada setiap likukannya.

Setelah menempu perjalanan selama jam kamipun memasuki Kota Watampone, ibu kota Kabupaten Bone. Bone memang daerah yang berada di pesisir timur Sulawesi Selatan itulah sebabnya banyak terdapat rumah panggung dan jalanannya berasa becek.


Tiba di rumah saya bersama kakak dan ponakan saya beristirahat sebentar dan langsung pergi mencari makan sekaligus putar-putar melihat Kota Wantampone. Ada Bola Soba yang merupakan rumah adat tempat tinggal panglima kerajaan Bone Andi Abdul Hamid Petta Panggawae yang dibangun pada masa pemerintahan raja Bone XXX sekitar tahun 1890. terletak persisi di pusat kota Watampone.

Kakak saya adalah seorang guru di sebuah desa yang letaknya amat sangat jauh dari Wantampone yaitu Desa Carebbu. So, keesokan harinya kamipun meluncur menuju Carebbu. Wow, I was so excited! Carebbu adalah salah satu desa di Kec. Awangpone, Kabupeten Bone yang menyimpan banyak pesona. Tidak hanya karena masyarakatnya sangat ramah, alam pertanian yang hijau dan subur pun memesona. Dalam perjalanan Watampone-Carebbu sepanjang mata memandang adalah hamparan persawahan luas, ditumbuhi tanaman padi yang konon dapat dipanen dua kali setahun. Barisan pohon kelapa juga turut menghiasi jalan menuju ke Carebbu. Hanya saja, untuk mencapai ke pusat perkampungan Carebbu dengan kendaraan, para pengemudi hendaknya siap mental karena kondisi jalannya berlubang, becek dan kadang berlumpur, sehingga sungguh merepotkan para pengendara. Saya kagum sekali pada kakak saya yang rela mengabdi di daerah yang letaknya jauh dari pusat kota. Luar biasa ^^

Oh ya, seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, Bone juga memiliki tagline–nya sendiri yaitu “Bone Kota Beradat” yang dapat kita jumpai di kebanyakan gapura-gapuranya. Sangat mudah bagi kita untuk menemukan bentuk ‘keberadatan’ masyarakat Bone, salah satunya adalah dari bangunan tempat tinggalnya. Masyarakat Bone sebagian besar adalah keturunan Suku Bugis. Meski jaman sudah modern namun tak jarang orang Bugis yang masih membangun rumah dengan model rumah panggung khas Bugis. Ada juga rumah-rumah panggung yang sudah dimodifikasi sehingga terkesan modern. Rumah tradisional Bugis ini berbentuk segi empat panjang dengan tiang-tiang yang tinggi memikul lantai dan atap. Katanya jumlah tiang menunjukkan status sosial penghuninya. Semakin banyak tiangnya semakin tinggi status sosial pemilik rumah.

Seharian saya berjalan-jalan sendiri melihat-lihat Carebbu. Masyarakat yang ramah dan lingkungan yang hijau tanpa listrik di siang hari membuat keaslian Carebbu sangat tampak. Keesokan paginya sebelum kembali ke Watampone saya dan kakak saya pergi ke pasar tradisional. Kebetulan hari itu adalah hari pasar, jadi banyak sekali penjual dan pembeli. Kami membeli oleh-oleh khas Awangpone; ikan … (lupa hehe).
Dalam perjalanan kembali ke kota, untuk pertama kali dalam hidup saya melihat dokar. Luar biasa sekali dokar tradisional 'pake banget' yang ditarik kerbau masih eksis dan melintas melewati  jalan raya. 

Sekitar jam 11 siang saya dijemput travel yang kemarin di rumah di Awangpone untuk kembali ke Makassar. Kembali melewati jalan yang kemarin. Meski cuma sebentar tapi ada begitu banyak hal yang saya syukuri setelah melihat Bone, teristimewa untuk every new things I saw and felt. Suatu hari nanti saya pasti akan ke sana lagi, masih terlalu banyak tempat yang belum saya explore -apalagi Tanjung Pallette yang terkenal itu :)









 
Makassar, Sulawesi Selatan

0 Comments