Tidak terasa Bangsa Indonesia tercinta ini sudah merdeka selama 69 tahun. Kalau diibaratkan manusia yang masuk usia seperti itu pasti sudah disapa dengan sebutan “Kakek/Nenek” atau “Opa/Oma” atau dalam Bahasa Daerah Sikka disebut sebagai “Ama MoA/Ina DuA.” Tapi kalau untuk ukuran sebuah negara bangsa usia 69 adalah usia yang muda dan cakap. Namun, sayang sekali kemerdekaan yang diperoleh dengan susah payah ini seperti hanya untuk dikenang dari waktu ke waktu tanpa dihidupi. Kalau kita refleksikan lebih jauh menikmati kemerdekaan bangsa adalah suatu karunia yang luar biasa. Bagaimana tidak, kita tak perlu susah payah hisup di medan perang dan ikut angkat senjata mengusir penjajah.

Kalau di beberapa daerah lain peringatan HUT RI punya istilah sendiri, seperti “17-an,” “Agustusan,” “Prayakan,” dll di Maumere kami sering menyebutnya dengan “17 Agustus.” Dari saya lahir sampai sekarang saya selalu merayakan Hari Ulang Tahun Negara Republik Indonesia tercinta ini di kota kelahiran saya; Maumere Manise. Bahkan meskipun kuliah di Yogyakarta, saya tetap merayakannya di sini karena HUT RI selalu bersamaan dengan musim liburan di mana saya pasti mudik.

Peringatan 17 Agustus di Maumere tahun ini nyaris sama seperti banyak tahun sebelumnya, yaitu olahraga (dengan gerak jalan adalah yang paling meriah karena pesertanya paling banyak), upacara bendera, panjat pinang, pameran & pesta rakyat, serta karnaval. Entah masyarakat paham atau tidak akan makna kemerdekaan, atau apakah masyarakat sudah benar-benar merdeka atau belum. Mungkin tak sempat terlintas dalam pikiran.

Gerak jalan dan karnaval adalah acara wajib dalam peringatan HUT RI di Maumere, diikuti oleh sekolah-sekolah dan komunitas/instansi di dalam maupun luar Kota Maumere.
Gerak jalan diselenggarakan dalam tiga hari yaitu pada tanggal 11-13 Agustus berturut-turut SD, SMP putra/I dan SMA putri, SMA putra dan instansi. Sedangkan karnaval yang biasanya diselenggarakan dalam sehari, tahun ini dibuat dalam dua hari mengingat banyaknya peserta yang berpartisipasi.


http://www.setneg.go.id/
Peringatan HUT RI di Maumere memang sangat monoton dari tahun ke tahun. Tak pernah ada yang berubah bahkan ketika pemimpin daerah dan panitia kegiatan dipegang oleh orang yang berbeda. Tak pernah ada yang fresh.
Sama seperti logo resmi peringatan HUT RI yang dari tahun ke tahun tidak berubah. Angka umur dangan jenis font dan posisi yang sama, tulisan Kemerdekaan Republik Indonesia dengan jenis huruf yang sama, gambar bendera dengan bentuk yang sama. Beda logo resmi tiap tahun hanya angka umur dan jumlah benderanya.

Atmosfer ketidak-kreatifan ini hadir juga dalam perayaan HUT RI di Maumere. Baik gerak jalan maupun karnaval saya merasa tidak ada suatu input positif kepada masyarakat kecuali untuk sekedar cuci mata bagi kaum pria ketika melihat para mayoret marching band yang cantik dan sexy bergoyang dengan rok super-mini. Semua barisan grup peserta karnaval isinya pasti barisan pakaian daerah dan profesi yang tidak lengkap dan sama pada umumnya, pengantin yang entah apa hubungannya, tarian Hegong, band, dan yang saat ini (sepertinya) menjadi impian setiap sekolah yaitu marching band. Hampir semua peserta bisa dipastikan memiliki apa yang disebutkan kecuali komunitas bela diri yang hanya memakai seragam dan sesekali beraksi unjuk kebolehannya.

Selain monoton dan tidak mendidik, hal lain yang disayangkan adalah orang tua harus dengan segenap upaya memenuhi permintaan guru yang menetapkan pakaian untuk dipakai oleh anak-anaknya saat karnaval. Syukur-syukur kalau memang sudah punya, ada yang harus pinjam, beli bahan kain dan jahit, sewa atau beli jadi. Tidak semua anak yang ditunjuk berasal dari keluarga dengan ekonomi yang mapan. Di satu sisi, karnaval sebagai peringatan HUT RI memang dimanfaatkan betul oleh pengusaha salon kecantikan dan sewa pakaian secara baik. Namun siapa yang memikirkan biaya sewa pakaian, make up di salon dan yang lebih parah kebersihan Kota Maumere setelah karnaval berakhir? Bekas dari karnaval yang terasa mungkin hanya sampah peserta karnaval dan masyarakat yang menonton. Tentunya di jalan-jalan protokol Kota Maumere.

Berikutnya, yang mengherankan: apakah memang dengan mengundang sekolah-sekolah dari luar Kota Maumere a.k.a dari tingkat kecamatan adalah keputusan yang tepat? Jumlah sekolah di Maumere sudah semakin banyak, dan hampir tidak ada satu sekolah yang tidak mengikuti karnaval ini. Bukankah lebih baik apabila peserta karnaval yang dari kecamatan merayakan karnaval di kecamatan masing-masing saja? Dengan demikian masyarakat di desa dan kecamatan bisa terhibur dan mereka bisa menyaksikan penampilan anak-anaknya. Karnaval tingkat kecamatan ini tentu akan memeriahkan perayaan HUT RI di kecamatan. Sekolah dan orang tua murid pun tak harus repot-repot turun ke kota hanya untuk menampilkan sesuatu yang ditampilkan lebih baik oleh sekolah lain yang ada di kota.
Kalaupun memang sekolah sendiri punya kemauan berpartisipasi dalam karnaval tak mampukah panitia membatasi jumlah peserta per sekolahnya? Atau membagi tiap kelompok sekolah/instansi dalam konsep tertentu? Sehingga nantinya ada kelompok yang hanya menampilkan budaya dari daerah tertentu, ada yang hanya khusus marching band, dan seterusnya. Dengan grup yang lebih spesifik tentu ada sesuatu yang baru dan lebih detail yang ditampilkan. Masyarakat pun mendapat sesuatu yang baru. Poin plusnya adalah hemat waktu, tenaga dan anggaran.

Saat ini marching band menjadi kebanggaan sekolah, mulai dari TK sampai SMA semua berlomba memiliki set drum band dengan pakaian bagus yang paling mungkin didapatkan sesuai kemampuannya. Memang bagus dalam artian menghidupkan semangat kompetisi, tetapi apakah koleksi buku-buku di perpustakaan sekolah sudah tidak butuh penambahan lagi? Belum lagi waktu dan tenaga yang terbuang untuk latihan drum band dan gerak jalan.

Saya bukannya tidak menghargai peringatan HUT RI ini. Karnaval memang bagus dan menghibur (entertaining). Hanya saja ketika setiap tahun menampilkan hal yang sama, pun setiap kelompok memberikan yang sama, tanpa tema, tanpa konsep … ya lama-lama eneg/gojak/muak juga. Seolah tak terbesit harapan akan perubahan positif dari tahun ke tahun di mana Republik ini kian berumur. Masyarakat sebenarnya menanti acara yang segar di mana ada sentuhan inovasinya. Tak ada pihak yang disalahkan, karena memang panitia pelaksana kegiatan setiap tahunnya pasti selalu dimulai dengan musyawarah. Alangkah baiknya apabila para stakeholder/pihak-pihak terkait mulai merancang inovasi baru dalam kegiatan peringatan HUT RI demi perkembangan Maumere dan masyarakatnya yang lebih dinamis, kreatif dan inofatif.
Jadi ingat bukunya Wahyu Aditya yang berjudul “Sila ke-6: Kreatif Sampai Mati.”  :S

2 Comments

  1. Itu sudah..
    Hal bagus tentang Indonesia di ulang tahun ini, sudah lahir banyak kelompok masyarakt yh menggalang kekuatan bersama, melakukan sesuatu.
    Pertanyaan untuk di Sikka(tidak hamya berkaitan dg hal ini), siapa akan berbuat apa, dan kapan ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bung Karno bilang, “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya … Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia” :)) Semoga orang muda Sikka saat ini sedang bersiap untuk bahu-membahu doing something positive for Sikka.

      Delete