Oleh: Hermina W. Wulohering
  • Ide- Ide Politik
Realisme adalah pemikiran dasar tentang politik global yang memusatkan perhatiannya pada studi state power. Meskipun banyak mendapat kritik tajam dari berbagai pihak namun sebagai suatu ideologi dan teori realisme tetap dapat bertahan dan para penganutnya bahakan mengklaim bahawa realisme akan tetap ada selama negara tetap berfungsi sebagai institusi politik yang memperjuangkan kepentingannya dalam politik global. Thomas Hobbes, salah seorang pemikir realis klasik yang mendasari pemikiran bahwa negara diperlukan untuk menjamin ketertiban umum, mengemukakannya pemikirannya tentang bellum omnium contra omnes atau war of all against all pada abad 17 ketika situasi hubungan antar manusia dalam masyarakat diwarnai oleh kekerasan dan perang yang berkecamuk tanpa belas kasihan. Begitu pula Hans J. Morgenthau, dalam bukunya Politics among Nations menyatakan bahwa pertarungan kekuatan militer antar bangsa yang terjadi selama Perang Dunia II membuktikan bahwa politik internasional pada dasarnya adalah a struggle for power.
Realisme mengasumsikan politik global sebagai kumpulan negara yang memperjuangkan kepentingan nasional masing-masing dengan instrumen utamanya adalah kekuatan militer. Dengan demikian bagi kaum realis setiap negara selalu berjuang untuk mencapai keunggulan militer dan untuk mewujudkan perdamaian dunia para pemikir realis menganjurkan negara-negara menciptakan keseimbangan kekuatan atau balance of power – yang dikritik dan dianggap tidak bermanfaat sebagai konsep keilmuan karena akan selalu menciptakan kondisi security dilemma yang tidak berujung. Atas dasar ini pemikir realis merasa pesimis tentang prospek perdamaian dan transformasi dalam politik internasional.
10 Asumsi pokok realisme menurut Kegley dan Wittkopf:
  • Manusia pada dasarnya mementingkan diri sendiri tanpa memedulikan etika dan selalu terdorong dalam hubungan dengan orang lain.
  • Hasrat manusia untuk berkuasa dan mndominasi orang lain merupakan niat buruk yang paling menonjol dan berbahaya dalam hubungan dengan sesamanya.
  • Peluang untuk menghilangkan hasrat untuk meraih kekuasaan hanyalah sebuah aspirasi yang utopis.
  • Esensi dari politik internasional adalah pertarungan untuk meraih kekuasaan di mana prinsip “war of all against all” berlaku.
  • Kewajiban utama negara yang melampaui semua tujuan nasional lainnya adalah memperjuangkan kepentingan nasional dan meraih kekuasaan untuk mewujudkannya.
  • Sistem internasional yang anarkhis memaksa negara untuk meningkatkan kapabilitas militernya guna menangkal serangan dari musuh potensial dan menjalankan pengaruhnya atas negara lain.
  • Kekuatan militer lebih penting daripada ekonomi demi tercapainya keamanan nasional dan pertumbuhan ekonomi hanyalah sarana untuk mencapai dan memperluas kekuasaan dan prestise negara.
  • Sekutu dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan negara dalam mempertahankan diri tetapi kesetiaan dan keandalannya tidak bisa dipastikan sebelumnya.
  • Negara tidak boleh mengandalkan organisasi internasional atau hukum internasional untuk menjamin keamanan nasionalnya. Selain itu negara juga harus menolak setiap upaya pengaturan perilaku internasional melalui mekanisme pemerintahan global.
  • Karena semua negara berusaha untuk menungkatkan kekuatannya maka stabilitas hanya bisa dicapai melalui keseimbangan kekuatan (balance of power).
  • Karena pola yang umum terjadi adalah cara militer digunakan nyaris tanpa batas untuk mempertahankan keutuhan wilayah sebelum berakhir dengan pemberian otonomi khusus atau bahkan terbentuknya suatu negara baru yang berdaulat. Oleh kaum realis pola ini dijadikan sebagai bukti betapa pentingnya kedaulatan negara.
Tokoh : Thomas Hobbes, Hans J. Morgenthau
Negara : Amerka Serikat
Serangan teroris meluluhlantakan gedung World Trade Center (WTC) di New York dan Pentagon di Washington D.C pada tanggal 11 September 2001 yang kemudian dikenal dengan Peristiwa 9/11. Sebagaimana yang kita rasakan sampai saat ini ancaman terorisme global menjadi isu keamanan yang menyita tenaga, waktu dan biaya hampir seluruh negara di dunia. Isu keamanan nasional dan internasional terus mencuat ke permukaan sehingga negara kembali menjadi aktor sentral yang mengorganisasikan perlawananan terhadap kelompok teroris. Muncul kembalinya isu keamanan internasional ini tidak lepas dari kebijakan keamanan global AS yang memberikan prioritas yang sangat tinggi terhadap perang melawan terorisme (global war on terror) di mana AS melakukan intervensi di berbagai negara seperti Irak, Afghanistan dan Somalia. Sejak menang dalam Perang Dunia II AS telah memiliki structural power untuk menentukan agenda penting dalam percaturan politik global.
Dewasa ini hampir tidak ada kebijakan luar negeri AS yang tidak dikaitkan dengan perang melawan terorisme. Bahkan bantuan luar negei AS pun sering dikaitkan denhan kinerja negara penerima dalam membantas terorisme. Padahal jika kita melihat lebih jauh apabila AS konsisten dengan politik luar negeri yang menjunjung tinggi demokrasi dan HAM seharusnya Pakistan di bawah rezim militer Jenderal Musharaf tidak diberikan bantuan ekonomi – saat pemerintahan George W. Bush. Tetapi kenyataanya saat itu Pakistan merupakan negara berkembang yang paling banyak menerima bantuan ekonomi dari AS. Ini menunjukkan bahwa kepentingan strategi keamanan global AS khususnya saat itu di bawah George W. Bush jauh lebih penting daripada nilai-nilai seperti demokrasi dan HAM.
Kenyataan ini sesuai dengan premis dasar realis bahwa pada akhirnya di bawah tekanan situasi tertentu sebuah negara akan lebih mengutamakan keamanan nasional daripada prioritas kebijakan lainnya.
Perwujudan realisme dalam kebijakan domestik AS dalam meningkatkan keamanan nasionalnya antara lain dengan dibentuknya Department of Homeland Security yang tugas pokoknya untuk menjamin keamanan dalam negeri AS dan secara lebih khusus lagi mencegah terulangnya serangan teroris berskala besar di dalam wilayah yurisdiksi AS.

Referensi :
Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Materi kuliah Politik Internasional, Semester 3, Erna Kurniawati.
Smith, Steve et. al. 2008. Foreign Policy: Theories, Actors, Cases. OUP.



0 Comments