• Oleh: Hermina W. Wulohering
          Konflik dan atau revolusi yang terjadi di Timur Tengah kian beruntut dan merambat dari satu negara ke negara lainnya. Sejak kemerdekaannya kondisi Suriah tidak pernah stabil. Intervensi militer dalam bidang politik tidak mampu meredam pertentangan antar golongan di negara tersebut.( Bandoro, 1991:8). Beberapa waktu belakangan ini mata dunia internasional terarah ke negara dengan bentuk pemerintahan republik ini karena adanya revolusi penumbangan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Pergolakan politik di Suriah makin panas dari waktu ke waktu sejak revolusi tersebut dimulai pada awal 2011 lalu. Bashar al-Assad naik ke tampuk kekuasaannya sepeninggal ayahnya Hafez Al Assad, sehingga lebih menampakan system kerajaan di mana seorang raja naik kekuasaan lewat jalur garis keturunan. Tidak ada ruang kebebasan politik di Suriah, hanya ada satu kekuasaan, Partai Baath. Baath yang mengusung ideologi politik sosialisme dan didominasi Syiah Nushairiyah telah menyokong rezim keluarga Assad selama 40 tahun lebih.[1]

        Negosiasi politik yang dilakukan menemui kebuntuan. Rezim-Bashar Al Assad dan oposisi Suriah tampak lebih suka berbicara dengan senjata. Rakyat Suriah pun terus menjadi korban perseteruan politik di negerinya. Demonstrasi publik dimulai pada tanggal 26 Januari 2011, dan berkembang menjadi pemberontakan nasional. Para pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri Presiden Bashar al-Assad, penggulingan pemerintahannya, dan mengakhiri hampir lima dekade pemerintahan Partai Ba'ath. Perlawanan rakyat sejak Maret 2011 pada awalnya terinsipirasi revolusi Arab di Tunisia, Mesir, Yaman dan Libya yang kemudian menjadi batu sandungan bagi rezim Assad. Namun, Assad masih duduk tenang di kursinya meski sudah kehilangan orang-orang terdekatnya dalam ledakan bom di Damaskus.[2] Assad juga ditinggalkan para pembantu dekatnya termasuk perdana menteri Suriah yang membelot ke oposisi. Pemberontakan Suriah 2011-2012 ini pun tergolong sebagai konflik kekerasan internal. 

          Setelah dua tahun revolusi rakyat melanda Suriah, semakin terlihat bahwa isu Suriah berbeda dengan negara Arab lain di mana revolusi Suriah dengan cepat merambah ke ranah regional dan berubah isunya ke arah ideologi/sekte. Warna regional dan sektarian dalam isu Suriah disebabkan posisi Suriah yang menjadi bagian inti pertarungan kubu pro dan kontra-Amerika Serikat di Timur Tengah. Suriah berada dalam kubu kontra-AS bersama Iran, Hezbollah di Lebanon, dan Hamas di Palestina. Negara di kawasan Arab pun tak lepas dari pertarungan dua kubu itu dalam menyikapi isu Suriah. Arab Saudi, Jordania, Mesir, Turki, dan negara-negara Arab Teluk yang dikenal dekat dengan AS dan Barat mengecam tindakan keras rezim Presiden Bashar al-Assad terhadap unjuk rasa pro-demokrasi tersebut. Adapun Iran dan Hezbollah terang-terangan mendukung rezim Bashar al-Assad. 

          Perpecahan ini diperparah oleh kepercayaan keluarga al-Assad yang menganut mazhab Syiah Alawite. Kelompok Syiah Alawite adalah minoritas di Suriah, tetapi memegang kekuasaan dan menikmati banyak fasilitas, terutama di jajaran militer. Kebetulan kubu pro dan kontra-AS dan Barat menganut mazhab berbeda. Kubu pro-AS menganut mazhab Sunni dan kubu kontra-AS menganut mazhab Syiah, kecuali Hamas. Hal inilah yang kini menonjol ke permukaan. Pertarungan antara kubu pro dan kontra-AS atas Suriah sekaligus mencerminkan pertarungan kelompok Sunni dan Syiah di negara tersebut. Padahal, yang terjadi di Suriah sesungguhnya adalah revolusi rakyat tanpa latar belakang ideologi atau mazhab tertentu. Latar belakang masalah yang menyulut revolusi Suriah sama dengan penyebab revolusi di Mesir dan Tunisia, yaitu masalah legitimasi potik penguasa, kepemimpinan represif dan diktator, serta perekonomian yang memburuk. Banyak juga penganut mazhab Syiah Alawite juga terlibat dalam unjuk rasa menentang rezim Bashar al-Assad.[3]
 
          Peralihan isu legitimasi politik pemimpin Suriah ke sektarian ini membuat suara dari kaum yang memperjuangkan tujuan utama dari revolusi Suriah tidak bergaung, ditelan kepentingan politik dari kekuatan yang telah terpolarisasi antara kubu pro dan kontra-AS atau Barat. Karena itu, yang terjadi menyangkut isu Suriah sekarang adalah pertarungan memperebutkan Suriah. Jika kita analisis lebih jauh tampak bahwa ada pihak tertentu yang sengaja membesar-besarkan isu Sunni-Syiah dalam ranah revolusi Suriah dalam upaya menyulut kebencian rakyat penganut Sunni terhadap rezim Bashar al-Assad yang penganut Syiah. Hal itu sekaligus untuk mencari simpati kubu pro-AS yang menganut Sunni agar lebih keras mengecam dan memberi sanksi terhadap rezim Bashar al-Assad. 

          Pertarungan memperebutkan Suriah ini bukan tanpa alasan. Suriah dalam sejarahnya memang selalu menjadi ajang rebutan. Ketika revolusi Arab menjamah Suriah pada Maret 2012 lalu, AS dan kubunya seperti menemukan momentum besar untuk membonceng keinginan rakyat Suriah dalam upaya mendongkel kekuasaan rezim Bashar al-Assad. Bagi AS dan Barat, kepentingannya tentu lebih besar dari sekadar menumbangkan rezim Bashar al-Assad. Tumbangnya al-Assad adalah tanda kemenangan dalam pertarungan kawasan melawan kubu Iran. Bagi AS, jika setelah Bashar al-Assad tumbang dan Ikhwanul Muslimin yang berkuasa di Suriah, itu urusan belakangan. Meski Ikhwanul Muslimin belum tentu pro-AS, langkah Washington tetap lebih ringan untuk melakukan pendekatan dibandingkan dengan rezim Bashar al-Assad yang telanjur menjalin hubungan strategis mendalam dengan Iran.

[1] “Interpretations of Syrian Revolution Oversimplified”, http://www.groundreport.com/Politics/Interpretations-of-Syrian-Revolution-Oversimplifie/2948162 diakses tanggal 25 September 2012
[2] “Pukulan Besar bagi Assad”, http://internasional.kompas.com/read/2012/07/19/0309383/Pukulan.Besar.bagi.Assad diakses tanggal 25 September 2012
[3] “Homs, Dikepung Mongolia dan Dijepit Tentara”, http://internasional.kompas.com/read/2011/12/15/07515177/Homs.Dikepung.Mongolia.dan.Dijepit.Tentara diakses tanggal 25 September 2012



0 Comments