Hutan Besar ...
Hari-hari di awal tahun 2013 ini begitu berat dan mungkin akan semakin berat ke depan. Bapa yang ada di surga sedang memberiku perhatian ekstra. Dia sedang mengajakku bercanda, tapi sayang banyak lelucon-Nya yang terasa garing bahkan tidak sedikit yang justru menyakitiku.
Kadangkadang aku berpikir: Tuhan, cobaan macam ini? Aku tidak ingin bercanda dengan Tuhan jika itu menyangkut akademisku, tentang dosen yang memberi nilai dengan mata tertutup. Aku tak ingin tertawa kalau harus berpisah dengan teman-teman. Bukankah kami sudah seperti keluarga? Apa namanya coba untuk gadis-gadis yang umurnya dekat, makan bersama tiap hari, kadang suka omongkan orang, menghabiskan hari-hari bersama meski kadang hanya menikmati diam, dan banyak lagi... terutama tinggal serumah. Bukankah itu cukup untuk disebut sisterhood dan menjadi keluarga? Lucu kah ketika salah satu anggota keluarga itu harus dipisahkan dari saudara-saudaranya yang lain? Apakah lucu ketika aku mencintai seseorang dan aku yakin dia juga jatuh cinta padaku tetapi kami tetap tidak pernah pasti, tidak jelas. Hanya seperti itu .. Berbagi waktu dan hari layaknya kekasih, bersaing layaknya kompetitor, tertawa bak sahabat. Dan yang pasti kami tidak pasti. Akan terus seperti itu. Dan ada beberapa hal lagi yang tak mungkin aku ceritakan di sini, bahkan walaupun tersirat.
Lelucon Tuhan yang lain dan paling tidak bisa (belum bisa) kuterima adalah tentang yang ini. Aku sudah bersedia melewati hari-hari dengan masker hijau, bahkan ketika dua minggu harus menjadi satu bulan. Tetapi... Inikah yang harus aku terima? Bukankah Tuhan dan dokter tahu bahwa aku ingin memperbaiki bukan justru merusaknya? Haruskah aku seperti ini terus? Hari ini, esok dan seterusnya. Ya permanen, selamanya.


Hutan Besar ...
Tadi malam adalah puncak kehancuranku. Aku tidak terima apa yang terjadi. Tentang semuanya ... Sempat terbesit di pikiranku kenapa aku? Kata orang ketika kita dicobai Tuhan itu karena Dia begitu mengasihi kita. Kalau memang Dia mengasihiku kenapa tidak Dia jemput aku saja dan biarkan aku tiap hari berada di samping-Nya, bak malaikat kecil yang bermain di pelukan-Nya. Masa-masa terbaik bersama Bapa (di bumi dan di surga) mungkin saat kita harus menjadi anak-anak. Pada saat itu hanya ada tiga hal yang kita tahu pasti: Bapa adalah satu-satunya superhero, cinta adalah pelukan hangat Mama, dan tempat tertinggi di bumi adalah pundak Bapa.
Aku juga berpikir mungkin saja Tuhan sedang menunjukkan kebolehan-Nya, Ia mau agar aku tahu bahwa Dia berkuasa menjadikan apa saja seturut kemauan-Nya. Tapi kalo memang iya kenapa tak Dia panggil saja aku, menyudahi semua ketidakjelasan ini, dan jika memang ada yang mau dan harus Dia ajarkan padaku kenapa tidak di atas sana saja? Agar aku bisa lebih jelas, dan Dia boleh menatap mataku lekat-lekat.
Tidakkah Tuhan yang Maha Adil ini memikirkan masa depanku? Bagaimanakah nanti cerita cita cintaku? Semua kepahitan ini Ia biarkan aku alami ini seolah aku tak pernah berdoa pada-Nya. Seolah aku tak pernah menyyalami-Nya sesaat sebelum menjemput sang surya, dan bersujud pada-Nya sesaat sebelum bermimpi. Padahal tangan ini tak pernah letih untuk meraih firman-Nya dalam kitab..
Kenapa aku? Menyedihkan... Aku terisak menagisi diri sendiri. Tak tahu pasti apa sebenarnya yang aku kasihani: diriku, orangtuaku, masa depanku, ..., ..., ...? Entahlah.



Hutan Besar ...
Kalau boleh aku bilang, I am a very hopeful person. Aku tak pernah sebelumnya bersedih sampai hilang asa seperti malam tadi. Pernah memang beberapa kali aku ngambek pada Tuhan. Tapi tak separah ini. Apalagi kalau sampai putus harapan dan berharap andai tak pernah dihadirkan ke planet ini. Rasanya ingin menghadapNya dengan segera, bahkan jika Ia belum memanggil namaku. Aku lah yang akan berinisiatif menghadap-Nya. [Tapi tidak, aku tak mau mati konyol. Aku akan menjadi sang legenda karena dunia akan berbunga ketika menyebut namaku.] Belum pernah aku berpikir seperti ini sebelumnya. Ini terlalu berat bagiku. Aku menjadi egois, tega-teganya aku membagi luka ini kepada Mama. Mama pasti sudah begitu sedih memikirkanku, apalagi ketika aku bilang padanya bahwa yang paling aku inginkan saat ini adalah menyudahi semua ini. Aku tak sanggup membayangkan masa depanku nanti. Dalam benak ini hanya "TUHAN AKU TIDAK SANGGUP LAGI."

Tapi sore tadi aku coba menebak-nebak lagi maksud-Nya. Aku memang mesti bersyukur karena aku dipilih Tuhan untuk mengalami ini semua. Tuhan pasti sanggup menyembuhkanku ... Tidak ada sesuatu apapun yang terjadi tanpa alasan. Ia pasti punya rencana yang luar biasa bagiku. TIdak semua orang bisa lalui kepedihan ini, dan aku harus menjadi yang kuat. Lemah sekali aku kalau terus berlama-lama hidup dalam penyesalan. Teman yang baru saja kehilangan beberapa anggota keluarga dalam sekejap saja masih bisa tertawa dan membahagiakan orang lain, kenapa saya tidak?

Tuhan, aku baik-baik saja ...
Aku tahu Kau sedang menuntunku untuk lebih bijaksana. Dan nanti saat aku telah sampai di sana, aku telah belajar dari apa yang aku alami ini. Aku dan bumi akan semakin dewasa, aku akan mengitarinya sambil dia mengitari matahari. Tuhan, aku berdoa agar suatu hari nanti Engkau boleh membiarkan aku benar-benar hidup. Dan jika Engkau perkenankan waktu itu datang, aku akan menjadi lebih adil; aku bersedia memaafkan sebelum memohon Engkau mengampuni dosaku dan membebaskanku dari yang jahat. Aku percaya ada kalendar yang cerah untukku, di mana tidak ada bulan Februari di dalamnya.
Aku akan berjuang untuk menghadapi ini, dan kita akan menang. Aku dan Tuhan. Saat itu Tuhan, aku akan menikmati sambil menatang sinar matahari yang cerah bersama ksatria yang menggenggam erat tanganku. Engkau akan menghadiahkan aku hari-hari yang luar biasa hingga senja tiba dan aku bersama malaikat-malaikat akan menatapMu lewat rembulan sambil mengucap syukur dan akhirnya berbaring menutup mata.
Suatu saat, suatu hari nanti .... segera
.

PS. Aku bersyukur untuk SEGALANYA.


Hermione - 7 Februari 2013 22:23

0 Comments