Fort Rotterdam
Hutan
Besar, kali ini saya kembali menulis tentang wisata sejarah – masih dari
Sulawesi Selatan. Benteng yang menjadi topik post ini berbeda dengan benteng
yang tahun lalu saya kunjungi baik dari konsep nama maupun design-nya. Kalau
Benteng Somba Opu lebih tradisional maka benteng ini lebih “barat”. Nama
benteng yang saya kunjungi bersama sepupu saya ini adalah Fort
Rotterdam, terletak di Jalan Ujung Pandang. Persis di sebrangnya terdapat
pantai yang mana tak seberapa jauh ke arah timur terdapat Pantai Losari.
Memasuki
kawasan Fort Rotterdam rasanya seolah melewati lorong waktu masuk ke masa-masa
saat benteng ini dibangun yaitu tahun 1545 di mana Raja Gowa ke-IX, Karaeng
Tunipalangga Ulaweng berkuasa.
Design
benteng ini unik dan klasik sebagaimana halnya bangunan-bangunan tua lainnya. Benteng
ini awalnya bernama Benteng
Ujung Pandang. Orang
Makassar sering menyebut benteng ini “Benteng Panyyua” karena bentuknya yang
menyerupai penyu yang
hendak merangkak turun ke lautan. Ini menunjukkan filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup
di darat maupun di laut. Begitu pula
dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan. Pintu
masuk utamanya terdapat menyerupai kepala penyu. Sebuah bangunan yang adalah
ruang pertemuan terdapat di area tengah
benteng. Bangunan ini sepintas terlihat seperti gereja. Terdapat empat bastion
utama yang seperti kaki-kaki penyu. Bastion adalah bangunan yang lebih kokoh
dan posisinya lebih tinggi terletak di setiap sudut benteng. Keempat
bastion ini dihubungkan oleh dinding
dengan tinggi
mancapai 5
meter dan tebal
2 meter. DInding uar biasa kokoh ini berasal dari batu padas yang diambil dari daerah
Maros di mana terdapat Air Terjun Bantimurung. Sepanjang dinding ini terdapat jalur seperti
parit yang digunakan oleh pasukan saat berpindah dari bastion satu
ke yang lainnya.
Kita sebagai pengunjung diperbolehkan naiki dan menyusuri dinding ini. Yah,
hitung-hitung bisa rasakan sensasi jadi prajurit penjaga benteng. :D Karena saya mengunjungi benteng waktu sunset,
tembok ini menjadi posisi yang pas buat menikmati langit senja.
Pasca didirikannya, benteng ini pernah hancur saat
terjadi sebuah penyerangan yang berlangsung cukup lama pada masa penjajahan Belanda.
Saat itu Sultan
Hasanuddin-lah yang memimpin pasukan Gowa. Belanda mencoba
merebut jalur perdagangan rempah-rempah dan memperluas kekuasaan agar
dapat
membuka jalur ke Banda dan Maluku yang adalah pusat rempah-rempah Nusantara. Kekalahan Gowa memaksa Raja
Gowa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667 yang salah satu isinya
mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada
saat Belanda menempati benteng ini, namanya diubah
menjadi Fort Rotterdam dan digunakan
sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Fort Rotterdam yang biasanya buka sampai malam namun waktu
itu tutup lebih awal yaitu sampai pukul 18:00 WITA karena bulan puasa. Setelah
jam kunjung berakhir, saya dan sepupu duduk-duduk beristirahat sebentar di
taman depan benteng dan melanjutkan perjalanan ke Pantai Losari hanya dengan
berjalan kaki. Yup, mudah sekali kan akses menuju benteng ini?
Kami juga mampir di toko souvenir yang berjejer di sepanjang jalan menuju
Losari.
Anyway, Fort Rotterdam merupakan satu dari sekian
banyak peninggalan bersejarah yang menakjubkan.
Saya bersyukur bisa punya kesempatan mengunjunginya. Entah kenapa
tiap kali mengunjungi situs-situs seperti ini rasanya terharu dan belajar lebih
mensyukuri anugerah Tuhan, terutama untuk kemerdekaan bangsa ini. Enak
sekali jadi generasi kita tak perlu susah payah berjuang mengusir penjajah. So,
tugas kita memang mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal positif. Kelise sih,
tapi memang nasionalisme
saya berasa di-recharge :DD Jadi
lebih mencintai negeri ini; Sabang sampai Merauke. ^^
PS: Selamat mempersiapkan HUT RI ke-68!!
Dirgahayuuuu…!!
0 Comments