Setelah Pantai Bean, masih saya menulis tentang pesona dari Kedang, Lembata. Postingan kali ini saya akan berkisah tentang Desa Buriwutun, yang bagiku adalah sepenggal surga di pesisir Kedang. Yup, Buriwutun terletak di pesisir Kedang bagian timur. Letaknya yang sangat strategis, telak menghadap ke arah di mana fajar selalu menyingsing, membuat saya dan kakak-kakak serta sepupu-sepupu saya selalu menjadikannya tempat wajib untuk dikunjungi setiap berlibur ke Kedang.
Sama seperti desa-desa lain di Kedang, Buriwutun juga merupakan bagian dari Gunung Uyelewun. Bedanya, ia terletak persis di kaki gunung yang langsung berbatasan dengan laut lepas.

Menyaksikan matahari terbit dari balik cakrawala adalah hal terfavorit yang tak boleh dilewatkan saat berlibur di Buriwutun. Di sini pagi adalah benar-benar pagi, pukul 04:30 sudah harus pasang mata untuk menjemput matahari.

Selain karena alamnya yang menawan berlibur ke Buriwutun selalu menyenangkan, karena Paman & Bibi di Buriwutun adalah Paman & Bibi terbaik yang kami punya, dan kakak-kakak sepupuku di Buriwutun selalu kompak dan menyenangkan. Teringat liburan-liburan sebelumnya sejak kecil dulu sampai tahun 2012 lalu, Paman Anton Lolonrian selalu mengajak saya (dan saudara-saudara saya) untuk bangun pagi dan berjalan santai sambil menyaksikan  matahari terbit. Sepanjang jalan beliau akan bercerita tentang berbagai hal tentang surya dan cakrawala. Dan biasanya tidak terasa kami telah menyusuri jalan melewati beberapa desa. :D :D Dulu kecil kalau di rumah, Bapak sering melarang kami untuk berenang di laut. Tapi begitu berlibur ke Buriwutun, kami justru diajak berenang di pantai.


Untuk pertama kalinya, di liburan bulan Desember 2015 ini saya ditemani sepupu saya, Wilem, pergi ke laut saat air sedang surut untuk mencari ikan dan hewan laut lainnya. Orang Lembata menyebut kegiatan ini sebagai "bekarang." Waktu itu sekitar pukul 11.00, matahari sedang tinggi tapi air laut surut. Kami berjalan jauh ke tengah laut, bisa dipastikan kalau air laut sedang normal alias pasang saya sudah hanyut dan tenggelam.

Terumbu-terumbu karang saat laut surut muncul begitu saja di atas pasir putih. Dan saya sungguh takjub. Betapa cantik, indah, menawannya Laut Buriwutun. Karena Wilem menyelam sangat jauh, ke kedalaman yang tak bisa saya jangkau, saya pun memasang kacamata renang saya dan berenang hanya di sekitar tempat saya berdiri. Dan ini pertama kali dalam hidup saya melihat keindahan bawah laut. Ikan-ikan yang berbeda jenis dan warna, terumbu karang, rumput laut, dan entah apa namanya. Sungguh luar biasa. Waktu itu rasanya saya ingin menangis terharu. Saya tidak sedang di Bunaken, saya di Kedang, di Lembata, di kampung halaman saya. Hanya lima menit dari rumah Paman & Bibi. Saya bisa melihat kebingungan di wajah hitam Wilem yang melihat betapa saya bahagia hari itu. Haha.. Sekitar dua jam kami di sana. Wilem rupanya mendapat ikan-ikan segar yang bisa dijadikan kuah asam di rumah.

Ian & Opi 
Belum puas bermain dengan gelombang laut, sore harinya saya menuruti ajakan kedua keponakan saya untuk berenang di pantai pasir dekat gereja. Pantai dekat gereja ini jadi spot paling nyaman untuk sekedar berenang dan bermain air karena dasarnya yang berpasir, tidak berbatu seperti pantai-pantai Buriwutun yang lainnya. Mumpung lagi liburan, mumpung Rian (6) & Novi (5) masih kecil. Ayoo..mandi laut lagi!
Jika biasanya ke Gereja Buriwutun melewati jalan raya, bersama Rian & Novi saya harus ikut 'jalan tikus' a la kedua bocah petualang ini: menyusuri bibir pantai melompati batu-batu licin di pinggir tebing.
Pagi di Buriwutun



0 Comments