Aku rindu rumput hijau sekolahku. Yang di atasnya tertelan ratusan jam untuk lembaran kertas penuh dialog atau monolog. Juga bertetes peluh dan setumpuk rasa bosan akan repetisi latihan. Aku rindu lampu sorot di halaman sekolah yang membantu bulan menemani latihan yang sedari sore.

Aku rindu Opa Herman & Pak Dus, guru teater yang selalu membuatku mengapresiasi semua guru setinggi-tingginya. Guru yang mengajari bedanya teriak, serak, vokal yang bulat, atau lantang, juga sepaket dengan repetisi artikulasi. Aku rindu sakit perut seperti mules mendadak yang seketika timbul segera pentas akan dimulai. Aku rindu pegal badan yang timbul karena latihan fisik yang tidak biasa sedangkan aku harus. Aku rindu latihan untuk berbicara menggunakan mata, berusaha menutup mulut cerewetku untuk berekspresi.

Cuma beberapa kali memang kesempatan untuk pentas, tapi anehnya, aku rindu. Aku rindu panggung, yang meski ketika berada di atasnya aku kadang lupa apa yang harus kulakukan, harus bergerak ke mana. Semakin aneh, aku rindu kostum ibu-ibu yang malah bisa menghilangkan urat maluku. Yang paling aneh, aku rindu juga pada manusia-manusia yang duduk di depan, menonton. Yang justru semakin banyak jumlahnya dan semakin riuh sorak-sorainya, semakin aku gemetar.
Aku rindu menjadi orang lain. Aku rindu teater. Aku rindu berproses.

-Dengan aneh menulis ini di kampus saat menunggui Bapak Dosen.

Kampus, perjuangan & dosen yang sungguh tak ada hubungannya dengan teater. 
Selasa pertama, Mei 2016

0 Comments