Minimalism
Happy new yeaaarr!
Senangnya bisa berada di tahun yang baru. Memasuki tahun baru berarti baru saja melewati bulan Desember. Bagiku, selalu ada cerita manis di bulan Desember. Bulan terakhir dalam tahun ini selalu ada hujan, ada umur yang bertambah, ada Natal. Tidak heran, lagu It's the Most Wonderful Time of the Year yang ditulis Edward Pola dan George Wyle pada 1963 selalu membawa mood ke bulan Desember.
Sesungguhnya, banyak ide di kepala untuk mengisi blog ini. Banyak kisah yang meng-highlight hidup saya sepanjang 2018 yang ingin saya tulis dan bagikan di blog ini. Kisah-kisah itu, termasuk sebelum tahun 2018, sedang saya list di catatan saya. Semoga semuanya bisa segera saya tulis. Di antara kesemuanya, saya memilih cerita tentang gaya hidup saya yang baru untuk lebih dahulu saya tuliskan. Pasalnya, saya sangat menikmatinya. Apalagi hari ini. Gaya hidup yang aku maksudkan adalah minimalisme, atau kerap dikenal sebagai gaya hidup minimalis, minimalism lifestyle.
Berawal dari sebuah talkshow dengan konsep pecha kucha yang saya ikuti pada 18 Desember lalu di CGV fX Sudirman, Jakarta Pusat. Diselenggarakan oleh Tim PechaKucha Night Jakarta, topik yang diambil adalah Consume Consciously. Awalnya, saya mengikuti networking event ini karena tertarik bahwa isunya terkait lingkungan.
Presentasi tujuh pembicara masing-masing dilakukan dalam 20 slide presentasi, tiap slide berdurasi 20 detik. Beberapa dari mereka mengisahkan bagaimana pola konsumsi mereka dilakukan dengan benar-benar sadar. Berbicara tentang cinta lingkungan, lagi-lagi tidak melulu soal alam, sampah, udara. Sebagian dari mereka lebih menekankan pada diri sendiri. Terutama cara hidup.
Saya begitu terkesan dengan presentasi seorang conscious consumer, Mbak Astri Puji Lestari. Selain eco-friendly, Mbak Astri menerapkan gaya hidup minimalis. Memiliki barang sesedikit mungkin, cukup yang perlu saja. Ini seperti hal yang benar-benar baru bagi saya. Saya semakin terkesima ketika Mbak Astri mengaku total pakaian dan sepatu yang dia punya tidak lebih dari 40 item. Bahkan blus yang ia pake pada acara malam itu, adalah blus yang sama ia pakai pada hari pernikahannya.
Selain Mbak Astri, seniman Eva Celia juga berbagi tentang hidupnya. Apa yang dibeli seorang Eva adalah benar-benar apa yang ia butuhkan. Beberapa manfaat yang mereka rasakan, antara lain lebih banyak uang untuk menabung dan somehow hidup menjadi lebih bermakna. Saya terkesan, tertampar, dan tergiur pada saat yang bersamaan.
Membayangkan isi lemari saya yang begitu penuh dengan berbagai jenis pakaian, dalam hati saya berpikir: bisakah saya seperti mereka? Yang duluan terpikirkan oleh saya adalah saya tidak lagi membeli barang, dalam hal ini pakaian. Saya langsung bertekad membatalkan janji untuk jalan lihat-lihat baju siapa tahu ada yang bagus dan murah - istilah kompromis untuk shopping - pada Jumat (21/12).
Selama ini saya selalu merasa diri saya cukup bijak dalam berbelanja. Apa yang saya beli adalah barang bagus, berkualitas, dan tidak mahal untuk kategori barang tersebut pada lazimnya. Bagaimanapun caranya, tiga kriteria tersebut harus ada dalam apapun yang saya beli. Dan saya pikir
itu sudah cukup. Namun, yang sering terlewatkan adalah apakah barang itu benar-benar berguna atau tidak. Kadang, ketika membeli pakaian tertentu, karena sudah memenuhi tiga kriteria tadi, saya beli. Padahal kapan akan dipakai, saya belum tahu. Sering ada pembelaan, "Lucu nih untuk ke pantai!" Boro-boro, sepanjang tahun 2018 sama sekali tidak ke pantai. Kadang juga, "Ini cucok buat ke pesta." Kenyataannya beberapa kali ada pesta, saya tidak bisa ikut. Kalaupun ikut, dengan berbagai pertimbangan, baju lucu belum tentu terpakai. Begitulah saya menumpuk pakaian di lemari.
Belum lagi kaos-kaos oblong yang saya miliki karena tergabung dalam komunitas atau kegiatan tertentu. Meski tidak nyaman memakai kaos oblong, saya tetap menyimpan kaos-kaos tersebut, dengan pertimbangan kisah di balik kaos tersebut atau mungkin nanti sesewaktu kalau ada event bertema sama mungkin bisa saya pakai. Nyatanya, tetap tidak terpakai.
Dua malam setelah pecha kucha, saya browsing, mencari tahu berbagai hal terkait minimalism. Beberapa artikel saya baca dan lebih banyak saya menonton video tentang kisah-kisah dan tips-tips dari mereka yang telah menerapkan gaya hidup ini. Umumnya saya menemukan bahwa mereka bahagia. Saya juga merasakan keinginan sama untuk hidup bahagia tanpa (keterikatan pada) barang.
Jumat (21/12) pagi, begitu menyelesaikan sarapan, tiba-tiba saja saya menuju meja dan menyingkirkan barang-barang yang bagi saya tidak penting-penting amat. Saat membaca artikel dan menonton video malam sebelumnya, tidak ada rencana yang saya patenkan bahwa besok pagi saya akan memulai hidup minimalis. Mungkin karena terus dipikirkan, ide ini mempengaruhi pikiran bawah sadar saya. Itulah sebabnya pagi itu yang ada di otak saya hanya "GO STARTING MINIMALISM".
Perpustakaan Nasional, 2 Januari 2019
Senangnya bisa berada di tahun yang baru. Memasuki tahun baru berarti baru saja melewati bulan Desember. Bagiku, selalu ada cerita manis di bulan Desember. Bulan terakhir dalam tahun ini selalu ada hujan, ada umur yang bertambah, ada Natal. Tidak heran, lagu It's the Most Wonderful Time of the Year yang ditulis Edward Pola dan George Wyle pada 1963 selalu membawa mood ke bulan Desember.
Sesungguhnya, banyak ide di kepala untuk mengisi blog ini. Banyak kisah yang meng-highlight hidup saya sepanjang 2018 yang ingin saya tulis dan bagikan di blog ini. Kisah-kisah itu, termasuk sebelum tahun 2018, sedang saya list di catatan saya. Semoga semuanya bisa segera saya tulis. Di antara kesemuanya, saya memilih cerita tentang gaya hidup saya yang baru untuk lebih dahulu saya tuliskan. Pasalnya, saya sangat menikmatinya. Apalagi hari ini. Gaya hidup yang aku maksudkan adalah minimalisme, atau kerap dikenal sebagai gaya hidup minimalis, minimalism lifestyle.
Berawal dari sebuah talkshow dengan konsep pecha kucha yang saya ikuti pada 18 Desember lalu di CGV fX Sudirman, Jakarta Pusat. Diselenggarakan oleh Tim PechaKucha Night Jakarta, topik yang diambil adalah Consume Consciously. Awalnya, saya mengikuti networking event ini karena tertarik bahwa isunya terkait lingkungan.
Presentasi tujuh pembicara masing-masing dilakukan dalam 20 slide presentasi, tiap slide berdurasi 20 detik. Beberapa dari mereka mengisahkan bagaimana pola konsumsi mereka dilakukan dengan benar-benar sadar. Berbicara tentang cinta lingkungan, lagi-lagi tidak melulu soal alam, sampah, udara. Sebagian dari mereka lebih menekankan pada diri sendiri. Terutama cara hidup.
Saya begitu terkesan dengan presentasi seorang conscious consumer, Mbak Astri Puji Lestari. Selain eco-friendly, Mbak Astri menerapkan gaya hidup minimalis. Memiliki barang sesedikit mungkin, cukup yang perlu saja. Ini seperti hal yang benar-benar baru bagi saya. Saya semakin terkesima ketika Mbak Astri mengaku total pakaian dan sepatu yang dia punya tidak lebih dari 40 item. Bahkan blus yang ia pake pada acara malam itu, adalah blus yang sama ia pakai pada hari pernikahannya.
Selain Mbak Astri, seniman Eva Celia juga berbagi tentang hidupnya. Apa yang dibeli seorang Eva adalah benar-benar apa yang ia butuhkan. Beberapa manfaat yang mereka rasakan, antara lain lebih banyak uang untuk menabung dan somehow hidup menjadi lebih bermakna. Saya terkesan, tertampar, dan tergiur pada saat yang bersamaan.
Membayangkan isi lemari saya yang begitu penuh dengan berbagai jenis pakaian, dalam hati saya berpikir: bisakah saya seperti mereka? Yang duluan terpikirkan oleh saya adalah saya tidak lagi membeli barang, dalam hal ini pakaian. Saya langsung bertekad membatalkan janji untuk jalan lihat-lihat baju siapa tahu ada yang bagus dan murah - istilah kompromis untuk shopping - pada Jumat (21/12).
Selama ini saya selalu merasa diri saya cukup bijak dalam berbelanja. Apa yang saya beli adalah barang bagus, berkualitas, dan tidak mahal untuk kategori barang tersebut pada lazimnya. Bagaimanapun caranya, tiga kriteria tersebut harus ada dalam apapun yang saya beli. Dan saya pikir
itu sudah cukup. Namun, yang sering terlewatkan adalah apakah barang itu benar-benar berguna atau tidak. Kadang, ketika membeli pakaian tertentu, karena sudah memenuhi tiga kriteria tadi, saya beli. Padahal kapan akan dipakai, saya belum tahu. Sering ada pembelaan, "Lucu nih untuk ke pantai!" Boro-boro, sepanjang tahun 2018 sama sekali tidak ke pantai. Kadang juga, "Ini cucok buat ke pesta." Kenyataannya beberapa kali ada pesta, saya tidak bisa ikut. Kalaupun ikut, dengan berbagai pertimbangan, baju lucu belum tentu terpakai. Begitulah saya menumpuk pakaian di lemari.
Belum lagi kaos-kaos oblong yang saya miliki karena tergabung dalam komunitas atau kegiatan tertentu. Meski tidak nyaman memakai kaos oblong, saya tetap menyimpan kaos-kaos tersebut, dengan pertimbangan kisah di balik kaos tersebut atau mungkin nanti sesewaktu kalau ada event bertema sama mungkin bisa saya pakai. Nyatanya, tetap tidak terpakai.
Dua malam setelah pecha kucha, saya browsing, mencari tahu berbagai hal terkait minimalism. Beberapa artikel saya baca dan lebih banyak saya menonton video tentang kisah-kisah dan tips-tips dari mereka yang telah menerapkan gaya hidup ini. Umumnya saya menemukan bahwa mereka bahagia. Saya juga merasakan keinginan sama untuk hidup bahagia tanpa (keterikatan pada) barang.
Jumat (21/12) pagi, begitu menyelesaikan sarapan, tiba-tiba saja saya menuju meja dan menyingkirkan barang-barang yang bagi saya tidak penting-penting amat. Saat membaca artikel dan menonton video malam sebelumnya, tidak ada rencana yang saya patenkan bahwa besok pagi saya akan memulai hidup minimalis. Mungkin karena terus dipikirkan, ide ini mempengaruhi pikiran bawah sadar saya. Itulah sebabnya pagi itu yang ada di otak saya hanya "GO STARTING MINIMALISM".
Perpustakaan Nasional, 2 Januari 2019
0 Comments