Pagi ini aku bangun pukul 7 pagi lebih sedikit. Biasanya aku bangun sekitar satu jam lebih awal. Namun, tumpukan pekerjaan di redaksi membuatku begitu lelah. Kami mengerjakan tiga edisi sekaligus: edisi 50 yang berjalan dan dua edisi terakhir - Natal dan Tahun Baru. Aku memutuskan untuk tidak ke kantor sejak kemarin. Aku sangat jenuh menatap layar komputer di meja kerjaku. Mataku bahkan terasa perih sejak Sabtu subuh sepulang dari kantor.

Untuk hari ini, tidak seperti 19 Desember tahun-tahun sebelumnya. Biasanya aku bangun pagi-pagi benar pada 19 Desember. Beberapa tahun lainnya aku menyempatkan ikut Misa pagi. Kalaupun tidak Misa, aku mengambil waktu di mana matahari bersiap untuk kembali bersinar ini dengan memanjatkan doa dan membaca Kitab Suci. Aku bersyukur untuk satu lagi tanggal 19 Desember yang boleh aku temui. Perjumpaan dengan satu lagi 19 Desember berarti aku baru saja melewati satu tahun di mana Tuhan mempercayakan napas kehidupan padaku.

Pagi ini setelah membuka kedua kelopak mataku, aku meraih handphone yang biasanya aku tempatkan di sisi kanan bantal kepalaku. Aku mengecek kalau-kalau ketika aku tertidur ada panggilan tak terjawab dari orang rumah atau mungkin pesan yang ditinggalkan di WhatsApp untuk mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Ternyata tidak ada. "Baiklah!" batinku datar tanpa ada tambahan perasaan lain.

Aku lalu bangkit dari kasur yang belum aku ganti seprainya. Harusnya beberapa hari lalu sudah kuganti. Namun, pekerjaanku menyerap semua perhatianku. Aku tak ada waktu untuk berurusan dengan seprai. Bahkan ujung sarung bantal guling yang terlihat kecoklatan karena daki tak menggangguku sedikitpun. 

Lalu, aku membawa diriku ke depan cermin yang terletak di seberang tempat tidur. Dalam balutan daster kesayangan, aku memperhatikan tubuhku dengan seksama. Aku memperhatikan lenganku, lalu menarik daster ke belakang agar aku dapat melihat seberapa buncit perutku dan seberapa kecil dadaku. Kemudian, kubalas dengan menarik daster putih bergambar boneka beruang berwarna merah jambu itu ke depan. Aku memperhatikan tubuh bagian belakangku. Dari punggung, pinggang, bokong hingga ke betis. Bagian belakang cukup membuatku merasa pas.

Aku maju sampai mukaku hanya berjarak beberapa centimeter dari cermin. Aku lihat rambutku yang rusak, alisku yang belum dirapikan lagi, mataku yang selalu menjadi anggota tubuh favoritku. Lalu aku melihat hidungku dan merasakan ia semakin besar. Aku perhatikan mulutku. Aku menyukai bibirku yang sehat. Dan meskipun aku telah menerima keadaan gigiku, kadang aku berharap peristiwa naas 13 tahun lalu tidak menimpaku. If only.. Terakhir aku memperhatikan rambut-rambut halus yang tumbuh seenaknya di wajahku.

Kecuali rambut yang rusak dan pendek, pengamatanku pagi ini menunjukkan tidak ada yang berubah pada fisikku. Tentang berat badan, aku bertambah lima kilogram sejak terakhir aku menimbang pada Desember tahun lalu ketika liburan Natal di rumah. Tapi aku optimis bisa mengurusi soal yang satu ini berkat kelas aeromix dan bodymix yang telah aku ikuti sejak awal Oktober lalu. Kalau tinggi badan, aku tak tahu. Setidaknya aku tak merasa pendek. Ah, sudahlah! Aku ingin selesai dengan masalah fisik.

Ketiadaan perubahan secara fisik ini membuat saya merasa biasa saja. Ulang tahun kali ini benar-benar hanya berarti saya menjadi satu tahun lebih tua. Dari 26 saya menjadi perempuan berusia 27 tahun. Angka 27 dalam hal usia, seperti angka yang tak berperan penting. Ketika berusia 20-25 tahun, ada perasaan seperti I am young and this is my lyfe. I'm gonna live it just how I wanted it to be. Memasuki usia 26, mulai ada beberapa hal yang tiba-tiba membuatku berpikir, ini bukan masanya lagi. Saya merasa lebih menghargai waktu sejak usia 26. Ada pula beberapa hal yang membuat saya merasa butuh kesadaran penuh untuk melakukannya. Saya tidak akan melakukannya karena saya harus, atau karena itu dinilai baik dalam tata kehidupan sosial. Misalnya, berdoa. Di usia 26, saya memahami doa sebagai urusan seseorang dengan Tuhan. Tidak boleh ada orang lain yang mengintervensi hubungan yang teramat privat ini. Saya tidak berpura-pura menyukai orang lain dan saya menyaring betul orang-orang yang bisa masuk dalam "dunia saya". Saya juga percaya tubuh saya adalah sepenuhnya otoritas saya. Pakaian apapun yang mau saya kenakan adalah hak saya. Bagaimana saya memperlakukan tubuh saya juga 100 persen urusan saya.

Saya kira pada usia 29, manusia akan menjadi begitu dewasanya. Tak lama lagi ia memasuki kepala tiga. Lalu ada apa dengan 27 dan 28? Sepertinya tidak ada yang istimewa. Entahlah, aku hanya belum tahu apa yang disiapkan bagiku.

Meskipun tak ada perbedaan signifikan yang tampak dan 27 adalah just another year, ada banyak pertumbuhan dan pembelajaran yang saya alami memasuki usia ini. Dan bagi saya mungkin inilah saatnya untuk mulai mandiri secara penuh dan bertanggungjawab, secara khusus dalam hal keuangan. Mungkin 27 dan 28 adalah di mana kehidupan menjadi perjalanan yang sesungguhnya, di mana saya melakukan penjelajahan dan bereksperimen ke berbagai hal yang saya mimpikan.

...
Saya berbalik dari cermin lalu kembali ke tempat tidur. Sambil memutar lagu-lagu dari Spotify, saya merenungkan sosok-sosok paling berpengaruh dan berjasa dalam hidup saya. Saya mendapatkan nominasi tiga besarnya: Bapa, Mama dan Bunda Maria.

Saya berterima kasih kepada Bapa dan Mama atas waktu tak terbatas yang mereka habiskan bersama saya. Saya berterima kasih mau menyelipkan langganan majalah Kunang-Kunang dalam daftar pengeluaran bulanan yang tentu sudah panjang, ketika saya masih kecil. Saya berterima kasih karena selalu mengingatkan saya untuk mengonsumsi buah. Terima kasih selalu mematikan lampu ketika saya sudah di tempat tidur. Terima kasih selalu setia mendengarkan ceritaku yang tak pernah berakhir. Terima kasih karena mau duduk bersamaku dan menemaniku makan malam saat aku pulang larut. Terima kasih telah mengizinkan saya berteman dengan siapa pun yang saya inginkan dan menerima semua temanku.
Yang terpenting, terima kasih karena selalu percaya pada saya. Tidak peduli berapa kali sudah saya menyia-nyiakan kepercayaan itu, selalu ada satu kesempatan lagi.

I love you, Mom and Dad, more than words will ever be able to describe. Hari ini, selamat telah menjadi orang tua terbaik yang selalu saya inginkan selama 9855 hari terakhir.

Dan untuk Bunda Maria, terima kasih karena selalu menjaga saya dalam segala pengalaman di tahun yang berlalu ini. Saat-saat keberhasilan akan selalu menjadi kenangan indah dan saat-saat kegagalan selalu mengingatkan saya pada kelemahan saya sendiri dan bahwa saya membutuhkanmu, Bunda Maria. Saya bukan tipe manusia yang lebih memilih saat susah baru mencari Tuhan. Justru sebaliknya. Ketika saya berhasil dan bahagia, saya lebih ringan untuk berdoa kepada  Allah Tritunggal Maha Kudus. Tetapi ketika saya terpuruk, saya gagal, saya dengan gampang berpaling dari Tuhan. Namun, saya tetap tidak bisa menjauh dari Ibu Maria.

Saat-saat gembira ketika matahari bersinar cerah dan saat-saat sedih membawaku pada Bunda Maria. Ia mengajari saya untuk tidak perlu takut. Kapan pun iman saya lemah, saya tahu kepada siapa saya harus berpaling. Mengulangi kata-kata Bunda Maria, membuat saya menghormati keteguhan imannya dan ingin menjadi sepertinya. "Fiat mihi secundum verbum tuum; terjadilah padaku menurut perkataan-Mu."

Entah apa yang menanti saya di Km 27. Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu.
MaxOne Hotel, 19 Desember 2018


Kebon Jeruk, dini hari 20 Desember 2018
-Ulang tahun tanpa tiup lilin dan tanpa doa khusus

0 Comments