Saya mengenal Nawal el-Saadawi dari buku terbitan Obor ini. Seorang guru favorit saya di SMA, Pak Vinsen Ditus yang menyarankan saya untuk baca buku ini. Buku ini berkisah tentang lika-liku kehidupan seorang perempuan Mesir bernama Firdaus. Firdaus kecil mengalami proses mutilasi genital alat kelaminnya. Ketika dewasa, ia memilih menjadi "pelacur yang bebas daripada menjadi seorang istri yang diperbudak".

Long story short, Firdaus kemudian dihukum mati karena membunuh seorang germo. Hukuman itu dia sambut dengan gembira, bahkan menolak usulan grasi dari presiden. Baginya, itu adalah satu-satunya jalan menyuarakan kebenaran.

Nawal el-Saadawi menuturkan segala luka yang Firdaus alami dengan lugas dan menampilkan bagaimama perempuan tak memiliki harga selain dari tubuh dan fungsinya di rumah tangga.

Tahun 2019 saya pernah bertemu, mewawancarai dan menulis kisah seorang perempuan penyintas perdagangan orang yang kini menjadi aktivis dan bekerja bersama Rm Ismartono, SJ. Saat mendengar beliau menuturkan kisah kekerasan dan pelecehan keji yang dia alami, saya teringat novel ini. Tindak diskriminasi dan pelecehan yang beliau alami membuat kisah Firdaus tidak sekadar kisah fiksi apalagi dongeng belaka. Tetapi memang dialami oleh perempuan di berbagai belahan dunia. Banyak perempuan  yang menjadi korban pelecehan tetapi memilih untuk diam.

Si Mbak Penyintas ini juga sama seperti Nawal berpesan untuk berani bersuara lantang melawan ketidakadilan. Intinya, jadi perempuan percaya diri dan cerdas yang mampu menyuarakan hak-hak kita dan melawan penindasan yang terjadi pada diri maupun lingkungan kita. Kita perempuan dan kita berani.

0 Comments