Gagal Paham sama #covid19sikka
Hari Rabu, 14/5, kemarin saya ke Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka untuk tes rapid. Saya datang pukul 13.00 sesuai jadwal dan jadi pendaftar pertama yang akan periksa di sesi tersebut. Saya dimintai KTP & nomor HP, pukul 13.05. Sekitar belasan orang datang setelah saya.
Kami cuma duduk-duduk tanpa informasi, bahkan sampai sekitar pukul 14.00 pun tes rapid belum dimulai. Saya tanya ke petugas: "Ibu, ini lagi tunggu apa ya?"
Petugas: "Petugas masih pake APD."
Gila, lama ya pakai APD-nya. Pukul 14.26, seorang petugas muncul dan mulai memanggil untuk rapid.
Nama saya tak kunjung dipanggil padahal saya pertama datang. Sampai orang kesekian, petugas mencopot APD dan kembali ke ruangan. Saya pikir aturannya setiap tangani sekian orang, petugas harus ganti APD.
Sampai pukul 15.30 saya tidak juga dipanggil-panggil. Ternyata petugas tadi melepas APD karena sudah selesai melakukan rapid dan nama saya LUPA (kata petugas) ditulis. Akhirnya satu petugas yang lain dipanggil, dan pakai APD baru untuk melakukuan tes rapid pada saya, pukul 15.48. Pukul 16.20 hasil saya keluar dan saya positif, harus isoman di rumah.
Saya pulang hanya dengan membawa setengah lembar kertas putih A4 yang berisi hasil tes rapid.
Pulang ke rumah, saya tracing orang-orang yang kontak dengan saya 14 hari terakhir dan kabari mereka untuk tes.
Esok hari, ada petugas datang ke rumah dan memberi saya obat ini. 😆 Saya bingung, COVID ini sakit apa sih sesungguhnya? Kok obatnya begini? Kenapa baru satu hari setelah tes rapid baru obatnya diberikan?
Sepuluh butir vitamin C berdosis 3x1 ini manfaatnya apa ya untuk mengobati virus yang bikin satu negara lock down ini? Dengan obat yang cuma vitamin C, saya jadi berpikir ini flu biasa. Mending saya tetap aktivitas, cari duit (14 hari di rumah doang, pusing saya tidak ngapa-ngapain).
Di hari yang sama, seorang teman saya yang tinggal di Nita pergi tes, puji Tuhan hasilnya negatif. Tetapi di lembar hasil tes, identitas dia yang tertera dengan benar hanya namanya. Selebihnya (tanggal lahir & alamat) bukan dia banget. Dia baru sadar juga pas sudah kembali di seminari.
Duh, monmaap saya gagal paham. Kok kesannya main-main begini ya? Setiap hari kita disuguhkan data-data COVID-19 yang mengerikan di kabupaten ini, sementara pendataan model begini.
Bapak saya yang juga positif COVID-19, sehari lebih dahulu dari saya dan mama, diisolasi di pusat karantina Posko BPBD (belakang Roxy Swalayan). Setelah 10 hari karantina, Bapa pulang dengan secarik kertas yang menyatakan Bapa sembuh. Di kertas tersebut data alamat tempat tinggal Bapa salah.
Pendataan yang main-main ala Dinkes Kab. Sikka ini rasanya bikin COVID-19 seperti guyon.
Waktu Bapa kembali saya tanya, "Bapa dinyatakan positif, berarti dites rapid lagi kah?" Bapa jawab tidak ada tes rapid lagi. Dokter yang merawat Bapa bilang, kalau sudah 10 hari virusnya akan mati. Spontan saya ngakak. Dari mana mereka tahu Bapa sudah sembuh?
Rupanya hal yang sama saya alami.
Hari ke-13, saya menghubungi Satgas COVID-19 Dinkes via WhatsApp. Saya tanyakan apa langkah selanjutnya yang harus saya lakukan karena besok saya masuk hari terakhir karantina.
Admin sampaikan agar saya ke Puskesmas terdekat. Saya dimintai nama dan alamat "agar kami (admin) kontak juga ke puskesmas terdekat." Setelah tahu alamat saya, saya disarankan ke Puskesmas Kopeta.
Selasa pagi, tanggal 27, akhirnya saya keluar rumah, pergi ke Puskesmas Kopeta. Saya mendaftar untuk mengambil nomor antrean di teras puskesmas.
Ketika nomor antrean saya dipanggil, saya jelaskan bahwa Dinkes meminta saya ke sini karena ini hari terakhir saya karantina. Tidak ada dokter yang menangani COVID-19 yang berada di tempat. Seorang petugas berkata pada saya, "Nona, tunggu e, dokternya belum datang." "Okay," jawab saya.
Setengah jam kemudian, petugas yang sama memanggil saya ke meja di dekat pintu masuk. Meja itu berdebu bahkan ada kotoran hewan, mungkin cicak, di atasnya. Saya ditanyai nama dan alamat lalu dia tuliskan ke kolom yang tersedia dalam secarik kertas.
Rupanya kertas itu adalah surat keterangan bebas COVID-19. Petugas tersebut tidak memintai dokumen apapun dari saya, seperti hasil tes rapid yang membuktikan saya memang pasien COVID-19, atau KTP yang membuktikan bahwa data identitas yang saya sampaikan adalah benar. Lucu lucu miris.
Di surat itu tertulis:
"Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dr. XXX, telah melakukan tinjauan/monitor kepada pasien YYY dan pasien yang bersangkutan dinyatakan negatif, sudah bisa kembali beraktivitas seperti biasa."
Lah?? Kapan??
Saya tanyakan pada petugas, "Hah? Kan dokternya tidak ngapa-ngapain, tidak pernah bertemu atau kontak dengan saya? Dari mana tahu saya sudah sembuh?" Dia menjawab, "Memang begini, Nona."
Singkat cerita, saya memilih bodoh amat yang penting bebas karantina. Saya tanya, setelah ini adakah yang harus saya lakukan? Seorang petugas lain sambung, "Kita juga SOP tidak jelas..." WHAAATTT???
Saya lalu diarahkan untuk fotokopi surat keterangan tadi dan antar satu lembar ke kantor lurah. Saya pastikan sekali lagi: "Habis ini sudah? Saya sudah boleh beraktivitas lagi?" "Iya."
Wow! Sejak Maret 2020, saya paling ngeri sama COVID-19. Di kantor lama di Jakarta, saya orang yang paling keras soal prokes terkait COVID-19. Masker selalu saya pakai, plus kalau dalam ruangan face shield. Sampai-sampai setiap ada rekan kerja yang datang ke kubikel saya, begitu mereka pergi, saya langsung semprotkan disinfektan. Di tas saya selalu ada hand sanitizer, sabun cuci tangan, disinfektan, masker cadangan, tisu basah, tisu kering. Bahkan setiap pulang ke kost (dari kantor atau hanya dari Indomaret di samping kost), saya selalu langsung mengganti pakaian, mandi dan semprot alas kaki dengan disinfektan. Segitu mengerikan COVID-19 buat saya. Saya percaya betapa berbahayanya virus ini.
Sayangnya, sejak saya positif COVID-19, saya gagal paham dan sangsi akan COVID-19 di Sikka. Sorry not sorry.
0 Comments