Hari-hari itu sungguh melelahkan. Setitik senyum adalah yang paling bisa menutupi hati yang rapuh. Dan kau selalu datang tepat pada saat-saat seperti itu. Berjalan berdua di bawah kemerlapnya bintang adalah kesukaan kita. Entahlah kesukaan atau kebiasaan, mungkin kita hanya terlalu pelit (baca takut) untuk memperlihatkannya pada yang lain. Yah, hanya bulan dan bintang lah yang mengetahui hati kita. Selalu seperti itu, dalam diam dalam sepi bahkan di antara panas dinginnya kota klasik ini kita bisa meredamnya, menjaga sangat rapat. Kadang kita kelihatannya bodoh, ya tolol. Sangat dekat di galaksi lain, tapi begitu terpisahkan di planet tua yang menakjubkan ini.

Aku tak ingat tanggal dan bulan waktu itu. Yang aku tahu, aku baru saja selesai berdoa di Gua Maria suatu gereja bersama seorang teman. Tiba-tiba kau datang, memaksaku menemanimu makan ke angkringan. Lagi, aku selalu gagal menolak ajakanmu. Kau memang pandai mengoceh, sedikit lebay tapi keren, agak berantakan, lumayan gaul dan cukup cerdas. Berjalan kerap menjadi pilihan kita agar bisa bergandengan tangan sambil sesekali berhenti membeli jajanan di pinggir jalan. Kita suka bertengkar gara-gara aku suka cilok dan kau suka tempe gorengan. Hehe.. Tapi aku suka saat berantem kecil denganmu. Dengan begitu aku bisa menguji speaking skill-mu. Dan hal lain yang aku tahu kita sama-sama menyukai anak-anak, sains dan banyak lagi, tapi mestinya kulupakan. Agar perasaan itu tidak merembes terlalu dalam.

Waktu pulang dan tiba di rumah tidak seperti biasanya aku langsung masuk dan memandangmu pergi dari atas balkon. Kali ini kau hanya sedikit mendorong sepeda motormu namun lalu kau berhanti dan berbalik ke arahku. Menatapku perlahan, aku seperti dibius tak sadar apa yang sedang terjadi dan kenapa. Juga kapan dan bagaimana. Hanya terjadi begitu saja. Aku merasakan tanganmu di wajahku, agak kasar tapi kau melakukannya dengan lembut. Aku merasakannya dan menikmatinya. Dalam beberapa puluh detik dunia seakan membeku. Orang-orang pun seakan berhenti. Mataku tertutup tak sempat menatap matamu namun bisa kurasakan perhatianmu yang utuh. … Dan kaupun melepaskanku mebiarkanku dalam keheranan akan apa yang baru saja terjadi. Namun beberapa detik sebelum motormu melaju pergi kita tertawa. Saat kau telah hilang dari pandanganku baru aku tahu jawabannya. Itu adalah ciuman pertamaku.

Aku bahagia, bingung dan sedih. Ya aku sedih beberapa hari setelah itu karena aku sadar bahwa tak ada apa-apa di antara kita dan kemungkinanmu untuk kembali padanya begitu besar. Tapi terima kasih, aku tak pernah menyesal berbagi untuk pertama kalinya denganmu. Tak peduli seberapa bajingan dirimu.
Sudah lama entah berapa lama sudah aku menyimpannya, tapi tiba-tiba saja aku mengingatnya hari ini dan ingin menulisnya agar sampai suatu saat nanti kalau aku merindukanmu, aku tinggal membaca kembali kisah ini. Selamat malam, fairy..

*FIKSI - namun untuk seseorang yang membaca lalu merasakan setiap kesamaan aku pastikan ini bukan kebetulan.

0 Comments