Tualang Kecil Sebelum Karantina yang Entah Sampai Kapan
Beberapa waktu belakangan Jakarta mulai panik dengan adanya virus corona alias COVID-19, tepatnya sejak dua orang pertama dinyatakan positif terinfeksi, akhir Februari lalu. Sejak itu, Jabodetabek cukup menyeramkan. Tapi situasi masih terbilang kondusif, meski harga masker, hand sanitizer, vitamin dan jahe sudah naik drastis. Orang-orang masih beraktivitas seperti biasa, termasuk aku.
Pertengahan minggu kedua bulan ini, tiba-tiba di grup WhatsApp "Sobat Mampang", yang isinya aku, Barbara & Leonie, mdmbahas liburan. Pemicunya tidak lain, harga tiket pesawat yang anjlok dari dan ke mana-mana, terutama luar negeri, akibat COVID-19. Ya tapi situasi begini, gol bunuh diri sih kalau mau keluar. Aku lalu teringat punya voucher diskon 50% menginap di RedDoorz dari Tokopedia. Syaratnya, booking dilakukan maksimal tanggal 14 Maret. Niatnya, mau mewujdukan rencana staycation kami bertiga di sekitar Jabodetabek. Pilihan kami jatuh ke Bogor karena kata Leonie di sana banyak kuliner babi.
Awalnya, kami mencari RedDoorz terdekat dari Curug Cihurang. Ternyata RedDoorz terdekat jaraknya 47 Km. LOL.. Kami akhirnya beralih ke penginapan lain dari Traveloka yang tidak jauh dari wisata air terjun Curug Nangka. Hanya dalam waktu kurang dari 60 menit, kami deal, penginapan pun fix sudah dibooking. Ini keajaiban dunia. Biasanya mau menentukan spa di mana aja bisa bahas dari siang sampe malam, sampe besok paginya lagi. Haha..
Dan tada.. Hari Sabtu, 14 Maret, pukul 09:30, aku dan Leonie sudah bertemu di Stasiun Palmerah dan melanjutkan perjalanan dengan KRL ke Bogor. Barbara naik di Stasiun Duren Kalibata. Bingung juga sih di tengah situasi yang tidak aman ini, kami malah pergi. Masker standby di muka, hand sanitizer yang biasanya disimpan di pouch, kali ini aku simpan di saku tas bagian luar agar gampang diraih kapan saja.
Tiba di Stasiun Bogor, kami mampir membeli jajan. Biasanya, kami suka ribet soal kebersihan makanan. Jajan memang tidak boleh mahal, tapi harus bersih dan cukup sehat. Tapi hari ini, kami langgar aturan itu. Di bawah tangga stasiun, Barbara beli gemblong Rp 10.000,- dapat 5 buah. Tak jauh dari stasiun kami bertiga jajan bakso cimol di pinggir jalan, harganya 4 buah Rp 5.000,- untuk yang kecil, dan 3 buah untuk yang besar. Selama tinggal di Jakarta paling ngeri kalau sembarang jajan di pinggir jalan, apalagi stasiun. Tapi hari itu ya sudahlah. Dan ternyata cimolnya sangat mengecewakan haha..
Kami berjalan kaki menuju Gereja Katedral Santa Perawan Maria Bogor atau dikenal dengan Katedral BMV (Beatae Mariae Virginis). Leonie mau mendaftarkan diri ikut program persiapan pernikahan. Cihuuy..
Dari Katedral BMV kami menuju ke kawasan Pecinan aka Chinatown Bogor di Jl. Suryakencana untuk makan siang. Bukan rahasia, Pecinan selalu menyuguhkan aneka pilihan kuliner. Awalnya kami ingin makan babi, tapi karena pagi tadi saya sudah sarapan babi di kost, kami batalkan dan memilih makanan lain yang legendaris di Bogor. Kami pun makan di Kedai Soto Kuning Pak M. Yusuf yang berdiri sejak 1977. Kedai ini masih terletak di Jl. Suryakencana, di sebuah ruko kecil. Sotonya memang enak, pengunjung pun ramai meski jalanan agak sepi akibat wabah COVID-19. Sayang, harganya cukup mahal. Nasi + soto dibanderol Rp 50.000. Nasi aja Rp 15.000,- sedangkan es jeruk Rp 10.000,-.
Kami lalu menelusuri jalanan Pecinan demi mencari Asinan Gedung Dalam yang tak kalah hits. Barbara ngebet sekali mau beli kudapan khas Kota Hujan yang sedang sangat terik ini.
Setelah berjalan sekitar 500 m di bawah teriknya matahari penangkal COVID-19, kami putuskan untuk berhenti di depan Wihara Satya Dharma Bakti dan menyerah pada pencarian asinan wkwk. Asinan Gedung Dalam jaraknya masih sekitar 1 km lagi. Masih di bawah terik di depan wihara, kami memesan taksi online menuju penginapan di daerah Curug Nangka, Kecamatan Tamansari. Rupanya lokasi ini jauh dari pusat kota, makanya nyaris semua Grabcar dan Gocar menolak orderan kami. Entah berapa derajat suhu siang itu. Karena tak tahan, kami izin pada penjaga wihara untuk duduk istirahat di serambi wihara sambil menunggu taksi online. Hampir 10x kami di-PHP-in sama para driver, sampai akhirnya dapat Gocar yang mau, karena memang rumahnya daerah sana, jadi sekalian pulang. Driver Gocar ini baik banget, dia bahkan menawarkan diri untuk mengantar kami kembali ke kota besok dengan tarif sesuai aplikasi. Angkutan umum ada tapi jarang dan lokasinya tidak dekat dari penginapan kami.
Beruntung karena driver adalah akamsi (anak kampung sini) kami tidak melewati jalur umum melainkan jalan tikus. Jadi perjalanan kami bebas macet meski akhir pekan. Sebenarnya kami juga tidak yakin jalan umum bakal macet, karena hari itu kota juga sudah tampak sepi. Bahkan dalam perjalanan dari gereja katedral ke Pecinan, supir Grabcar kasihtahu, Walikota Bogor, Pak Bima Arya sedang diisolasi karena diduga positif COVID-19.
Tiba di penginapan, kami langsung diantar ke kamar. Nama penginapannya Homestay Sidomukti Bogor. Kami pesan Cempaka Room untuk kapasitas 3 orang, tarifnya Rp 287.500,-. Kamarnya standar banget, cuma ada TV, tidak ada handuk, toiletries. Juga tidak ada AC - tapi tidak masalah karena udara di sana sejuk sekali. Tapi.. Harga segitu worth it sekali. Yang kita dapatkan: 2 botol air mineral, 2 paket sarapan (nasi goreng), air minum refill, tempatnya bersih, sederhana tapi asri, dan terpenting ada kolam renangnya.
Begitu tiba di penginapan, hal pertama yang kami lakukan adalah tidur leyeh-leyeh sebelum meluncur ke kolam renang, bermain air kaporit dan air hujan yang turun saat kami tengah di kolam.
Karena lokasi penginapan ini agak sepi, di bawah kaki Gunung Salak, susah bagi kami mencari makan malam. Ada beberapa cafe yang kami jumpai saat dalam perjalanan tetapi sangat jauh dan meskipun ada di Gofood dan Grabfood, tentu kasihan driver harus mengantar jauh sekali.
Beruntung kami bisa pesan makan di penginapan. Menu yang tersedia saat itu hanya nasi goreng dan Indomie. Kami memesan nasi goreng telur mata sapi yang harga seporsinya cuma Rp 15.000,-
Oh ia, yang jadi catatan paling kurang nyaman dari Homestay Sidomukti Bogor adalah dinding tembok pemisah kamar tipis sekali jadi kedengaran kalau penghuni kamar sebelah ngobrolnya rada kurang tertib.
Kami menikmati malam itu di kamar dengan mendengar lagu, membaca buku, membersihkan telinga dengan ear candle, catok rambut, ngemil dan meng-update kabar serta meme terbaru dari media sosial.
Minggu, 15 Maret pagi, kami bangun molor dari rencana semalam. Maunya pukul 6 sudah berangkat
menuju Curug Nangka. Tapi kami baru bangun sekitar pukul 7. Cuci muka, gosok gigi, dan santap sarapan, lalu berangkat.
Dari penginapan ke gerbang masuk Wisata Curug Nangka sangat dekat, hanya 5 menit jalan kaki. Dari gerbang pos ke titik curugnya juga tidak sampai 1 km.
Curug Nangka masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. HTM-nya Rp 17.000,- per orang dengan rincian karcis masuk hari libur pengunjung nusantara TN Gunung Halimun Salak Rp 7.500,- + asuransi Rp 2.000,- dan satu lagi karcis informasi pariwisata Rp 7.500,- yang entah apa maksudnya. Tapi itu murah dan worth it sekali karena fasilitas di sini tergolong bagus; ada beberapa toilet, area parkir dan ada yang camping juga.
Perjalanannya menyenangkan karena udara sangat segar khas kawasan pegunungan, ada suara burung-burung, hangat mentari pagi terasa dan mata dimanjakan dengan hamparan pemandangan hijau. Beberapa warung kecil bisa dijumpai. Mereka menjual aneka minuman, gorengan, mie instan dan beberapa jajanan lain. Dari semalam kami memang sudah teriming-imingi dengan mendoan hangat yang dijajakan di sini. Tapi kami memilih untuk menikmatinya setelah kembali dari curug. Selain bisa santai dan tidak terburu-buru, kalau semakin siang ke curug, khawatir matahari akan terik dan semakin banyak orang yang datang.
Untuk sampai di curug, kita perlu menyusur sungai tapi jaraknya tak seberapa kok. Setibanya di sana ada beberapa pengunjung lain yang sudah tiba duluan meski tidak ramai. Kami menikmati pemandangan, foto-foto, bermain air sebentar dan kembali. Curug ini tingginya sekitar 10 meter dan dikelilingi pepohonan rindang. Air di bawah curug pun tidak dalam, hanya selutut orang dewasa.
Kembali ke penginapan, kami bersantai-santai. Aku memilih bermain ayunan di luar. Usai mandi, sambil rebahan, kami kembali mengupdate berita. Tiba-tiba suasana menjadi agak seram. Semua media sosial dan portal berita yang kami buka isinya update COVID-19. Di mana-mana muncul kampanye untuk tidak keluar rumah. Imbauan untuk menghindari keramaian yang sebenarnya sudah ada sejak beberapa waktu lalu menjadi mencekam karena sangat masif. Yah, cukup memukul mental. Yang kami takutkan, begitu tiba di Jakarta, stasiun sepi, tidak ada ojol yang mengantarkan kami dari stasiun ke kost, ibukota berubah jadi kota mati seperti yang kami lihat di luar negeri dari media sosial.
Kami checkout pukul 12. Namun karena driver Gocar kemarin baru bisa menjemput di atas pukul 3 sore, kami sempatkan makan siang. Bersyukur persis di depan penginapan, ada warung rumahan. Memang ala kadar sekali warungnya tapi sangat membantu. Apalagi Jl. Gunung Malang yang pagi tadi tampak hidup, siang itu menjadi sunyi sekali. Oh ya, aku makan nasi tahu harganya hanya Rp 8.000,-.
Dalam perjalanan menuju Stasiun Bogor, kami semua tertidur di jalan. Mungkin kecapekan, mungkin juga malas buka suara karena yang ada di otak hanya COVID-19, atau mungkin juga karena bau khas parfum taksi ini cukup bikin puyeng.
Di stasiun kami sempatkan jajan Roti'O sebelum masuk ke gerbong KRL. Di KRL, kami menjadi semakin was-was dengan penumpang lain, apalagi ketika kereta mulai berhenti di stasiun-stasiun yang ramai seperti Depok dan Manggarai. Puji Tuhan, ketika aku tiba di Palmerah, meski suasana sangat sepi dan berbeda dari hari Minggu sore biasanya, masih ada Grab yang standby siap mengantarkan penumpang KRL ke tujuan akhir masing-masing.
Jalanan dari Palmerah ke Anggrek Cakra sepi sekali. Tiba di kost, aku mampir Indomaret belanja makanan instan kira-kira untuk 2 minggu ke depan.
Kantor Leonie memang telah menginstruksikan untuk kerja di rumah alias work from home / wfh sejak Senin, 16 April. Tapi aku, Senin itu masih ke kantor. Bersyukur, kantor mengumumkan mulai Selasa, 17 April, kami bisa mulai bekerja dari rumah. Sementara Barbara baru hari Rabu mulai kerja dari rumah.
Setelah dipikir-pikir weekend getaway ke Bogor kami bisa dibilang uji nyali. Bersyukur kami baik-baik saja. Tulisan ini saya buat di tengah kegabutan wfh. Belum genap 2 minggu menjalani wfh, tapi bosannya bukan main. Entah apa lagi yang belum aku kerjakan. Yah, bagaimana pun, tanpa kami sengaja, setidaknya kami sudah pergi bertualang kecil persis sebelum karantina. Tidak ada yang tahu kapan karantina dan wfh berakhir. Kapan COVID-19 berlalu dan situasi kembali normal. Semoga secepatnya!
0 Comments