Hello, September!

Dari dalam gedung dengan tembok bercat kuning gading dengan sekat tripleks coklat, aku menulis ini. Melalui empat pasang jendela dengan gorden merah dan vitrase putih, aku bisa melihat pemandangan hijau yang segar di luar ruangan. Meski hari ini tidak panas-panas amat aku menghidupkan satu dari dua AC di sini. Aku adalah satu-satunya penghuni gedung yang cukup besar ini, di mana ada lab bahasa juga di dalamnya. Setiap hari aku hanya ditemani playlist Spotify dan buku-buku grammar, TOEFL, serta file-file arsip yang berjejer di rak kayu tiga susun. Namun, sebagai seorang ambivert, bukan masalah tidak punya teman dalam ruangan sebesar ini. Justru menyenangkan, aku bebas beraktivitas dan berekspresi.

Hari ini, tepat setahun aku resmi menempati gedung ini. Sebenarnya aku tidak benar-benar masuk tanggal 1 September. Sepuluh hari sebelumnya di tahun lalu, aku melewati masa training di mana aku masuk kerja pukul 8:30 dan pulang pukul 14:00, 90 menit lebih sedikit dari waktu kerja normal.

Aku ingat, 12 Agustus 2020 ketika aku mengantar lamaran (aku menjadi pelamar ke-39 alias terakhir untuk posisi ini), aku begitu bersemangat mau melihat Ledalero. Terakhir kali aku ke sini saat aku SMP kelas 1, mengunjungi Museum Bikon Blewut. Usai menyerahkan berkas lamaran yang tidak lengkap dokumennya, aku mengunjungi penerbit, museum, dan bahkan meminta satpam mengambil foto diriku dengan latar belakang gedung kampusnya - di sini lebih sering disebut sekolah.

Hal yang paling menggembirakan bagiku ketika diterima bekerja di sini adalah aku bisa melihat lebih dekat beberapa orang hebat yang pernah menjadi narasumberku saat aku menjadi wartawan. Di hari ujian masukku pun, aku senang melihat dua dosen perempuan yang tampak berkompeten dan profesional. Mereka berdua kemudian menjadi partner langsung kerjaku.

Aku juga bersyukur bisa bekerja di sini karena menurut seorang teman yang telah lebih dulu bekerja di sini dan dari cerita serta perbandingan beberapa teman di Maumere, upah di tempat kerjaku tergolong baik. Bila dibandingkan dengan upahku dulu, memang setengah gajiku dulu pun tidak sampai. Namun, tidak apple to apple untuk membandingkan keduanya. UMR saja berbeda.

Di sini ada kebiasaan jalan-jalan bersama. Setidaknya belum sebulan di sini, kami sudah piknik jauh ke Pulau Pangabatang.

Selain itu, karena aku sering Misa harian, aku senang aku bisa memulai hariku dengan Misa di Kapela Agung Ledalero atau di kapela biara lain di sini sebelum mulai bekerja. Kadang, pada jam istirahat aku bisa pergi ke kapela untuk berdoa.

Aku berterima kasih kepada Tuhan untuk kebaikan-kebaikan ini. Namun, kenyataan bahwa setiap hari aku duduk di belakang meja dan melakukan pekerjaan administratif sungguh melelahkanku. Tidak, pekerjaan-pekerjaan ini tidak berat, sama sekali. Aku hanya merasa menyangkal diriku sendiri selama menjalani kerjaku setahun ini.

Bukan aku tidak bersyukur. Aku merasa sangat diberkati Tuhan dengan pekerjaan ini. Bagaimana tidak? Di saat orang lain susah mencari kerja, aku yang baru lepas ikatan dari kerja lamaku pada 31 Juli 2020, dan kembali ke kampung halaman pada 5 Agustus, langsung kembali bekerja hanya dalam dua mingguan. Betapa Tuhan baik padaku.

Aku juga yakin, ayahku yang selalu bangga dengan Serikat Sabda Allah (SVD) pemilik tempat kerjaku, pasti bahagia putrinya menjadi bagian dari tarekat religius ini.

Hanya saja, aku merasa selama ini aku berjalan di tempat. Nyaris tak ada kompetensi baru yang aku dapatkan selama satu tahun ini. Bekerja sendiri juga membuat apapun yang aku lakukan seolah tak ada nilai baik buruknya. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan agar tetap berkembang. Kehidupanku di tempat kerjaku, juga hidup di rumah di kota kecil ini membuat aku sedikit banyak merasa mundur, terutama dalam hal public speaking. Kesempatan-kesempatan baik untuk aktualisasi diri, belajar, mengembangkan potensi diri, serta merawat fisik dan mentalku aku rasakan begitu minim.

Beberapa hal aku upayakan untuk tetap mendapat kesempatan-kesempatan itu di sini. Namun, tidak mudah. Bersyukur, dari usaha-usahaku merawat otak, jiwa, dan badanku itu, ada yang cukup berjalan baik, yaitu bimbingan belajar anak-anak sekolah. Ini sangat membantuku secara psikis.
 
Sering saat bekerja, mimpi yang telah aku bawa sejak 2017 untuk melanjutkan studi, melintas di pikiranku. Kuniatkan untuk mengejarnya tahun ini, namun tekadku kalah dengan kondisi emosionalku.
Padahal, saat ini hanya studi lanjut yang dapat menarikku keluar dari belakang meja ini. Aku menyesal telah menyia-nyiakan (lagi) kesempatan melamar beasiswa impianku tahun ini.

Entahlah, tapi aku percaya semua bunga mekar pada masanya masing-masing. Demikian kata-kata Prof Rando Kim dalam The Time of Your Life. Saat ini aku merasa di titik terendahku. Aku merasa tidak berkembang hampir dalam segala bidang kehidupanku: karier, mental, fisik, finansial, kehidupan rohani, juga circle dan relationship. Dan aku sadar, kepercayaan diriku ikut luntur perlahan. Modal-modal utamaku mulai terkikis. Aku menjadi selalu insecure akan apa adanya aku.

Semoga ini tidak berlangsung lama. Setidaknya, meskipun aku kehilangan modal-modalku itu, aku tahu aku masih punya kebaikan hati. Aku selalu yakin Tuhan dan semesta tahu aku punya hati yang baik. Hati yang baik dan tulus yang akan membawaku pada hal-hal baik lain. Aku hanya perlu mengafirmasi hal yang sudah baik dalam diriku dan mau tidak mau berjuang lebih gigih untuk mimpi dan goal-goal-ku.

Aku teringat kutipan dari film 5cm karya Donny Dhirgantoro:
Mimpi-mimpi kamu, cita-cita kamu, keyakinan kamu, apa yang kamu mau kejar, biarkan ia menggantung, mengambang 5 centimeter di depan kening kamu. Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu itu setiap hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya bahwa kamu bisa. Apa pun hambatannya, bilang sama diri kamu sendiri, kalo kamu percaya sama keinginan itu dan kamu nggak bisa menyerah. Bahwa kamu akan berdiri lagi setiap kamu jatuh, bahwa kamu akan mengejarnya sampai dapat, apapun itu, segala keinginan, mimpi, cita-cita, keyakinan diri.. Biarkan keyakinan kamu, 5 centimeter mengambang di depan kening kamu. Dan… sehabis itu yang kamu perlu cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa.. Keep our dreams alive, and we will survive..”


0 Comments