Berani Bersuara (?)
Jam menunjukkan tepat pukul 11:00 ketika saya membuka blog. Tiba-tiba saja ingin (kembali) menulis di sini.
Sejak tiba di redaksi satu jam yang lalu, saya belum membuka satu pun file word, merapikan list narasumber atau dokumen-dokumen lain. Program yang terbuka hanyalah Chrome. Saya masih menyambung kegiatan di kasur kost tadi sebelum berangkat: nimbrung di grup WhatsApp yang isinya teman-teman segeng zaman sekolah. Di group LOVERHIN, percakapan sedang ramai. Semuanya sibuk membahas pernikahan Renya dan Dimas yang baru berlangsung kemarin. Saya juga scroll Facebook, scroll down sampai jauh. Tiba-tiba tertegun membaca postingan Maria Zemilia.
Kebon Jeruk baru saja diguyur hujan pagi tadi. Pemandangan dari jendela redaksi siang ini tampak segar dengan dedaunan pohon angsana yang menghijau. Udaranya juga sejuk, khas musim hujan. Tentu, ada terbersit rasa malas untuk benar-benar bekerja.
Sejak tiba di redaksi satu jam yang lalu, saya belum membuka satu pun file word, merapikan list narasumber atau dokumen-dokumen lain. Program yang terbuka hanyalah Chrome. Saya masih menyambung kegiatan di kasur kost tadi sebelum berangkat: nimbrung di grup WhatsApp yang isinya teman-teman segeng zaman sekolah. Di group LOVERHIN, percakapan sedang ramai. Semuanya sibuk membahas pernikahan Renya dan Dimas yang baru berlangsung kemarin. Saya juga scroll Facebook, scroll down sampai jauh. Tiba-tiba tertegun membaca postingan Maria Zemilia.
Bisa dikatakan, saya mengenal 99 persen teman Facebook saya. Tapi tidak dengan Maria Zemilia. Saya tak kenal, bahkan belum pernah berjumpa langsung. Hanya saya merasa seperti mengenal perempuan ini. Kami sering saling memberikan reaksi pada kiriman satu sama lain di Facebook. Secara umum, saya merasa memiliki banyak kesamaan spiritual dengannya.
So, Maria menulis tentang feminisme. Suatu isu yang memang sangat sering ia angkat di media sosial. Biasanya, saya langsung setuju dan memberikan jempol, <3 atau komentar. Namun, tidak kali ini.
Sebelum-sebelumnya saya pernah dan sering menyuarakan persis apa yang Maria tulis. Namun, tidak setelah saya menjadi orang yang langsung mengalaminya. Saya tertegun dengan kalimat, "Maka dari itu, pelecehan sekecil apapun perempuan harus berani bersuara."
Ternyata tidak segampang itu. Atau mungkin keberanian saya tidak sebesar itu. Ada ketakutan seperti yang Maria tulis: "Ah cuma itu ju sensi mati kau nii" (Hanya itu saja kok, kamu sensi sekali).
Beberapa kali, ketika saya melihat orang yang melakukan pelecehan itu kepada saya, saya muak. Di lain waktu saya seperti ingin melemparnya dengan apapun yang ada di dekat saya, atau bahkan ingin membunuhnya. I mean it.
Saya tahu apa yang harus saya lakukan: saya harus bersuara. Tetapi tidak semudah itu untuk mendatangi orang yang berwenang terkait hal ini dan menceritakannya. Saya takut pada "Ah cuma itu ju sensi mati kau nii".
Saat kejadian itu menimpa saya, saya sedang menulis sajian utama untuk kepentingan redaksi tentang pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan Gereja Katolik. Dua hari sebelumnya, saya bertemu dan mewawancarai salah satu komisioner di Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti. Berulang kali Retno menegaskan agar anak-anak harus diajarkan untuk terbuka dan berani berbicara tentang apa yang mereka alami. Namun, saat saya yang mengalami, ternyata tidak semudah itu.
Saya begitu sakit hati saat itu terjadi. Saya langsung meninggalkan tempat itu dan pergi. Saya ingin melaporkan, tetapi saya malu, saya takut. Saya malu, seorang goblok dan rendah seperti dia bisa melecehkan saya. Saya takut "Ah cuma itu ju sensi mati kau nii".
Beberapa kali dan terutama pagi ini, saya berpikir. Kenapa saya begitu takut? Sementara saya sering ikut melakukan kampanye kecil terkait hal ini.
Saat menulis ini, saya berjanji pada diri saya sendiri: Suatu saat nanti saya akan melaporkan. Mungkin tidak sekarang. Tapi nanti saya pasti akan melapor. Saat saya sudah muak melihat "tikus got" itu.
0 Comments