Siapa yang tidak kenal Basuki Tjahaja Purnama alias Pak Ahok? Politisi yang sedang mendekam di penjara atas tuduhan penistaan agama itu juga merupakan salah satu idola saya. Saya menyukai prinsip-prinsip yang beliau pegang dan terapkan sepanjang menjabat posisi nomor wahid DKI. Saya mengamati melalui laporan media massa, menjadi warga DKI meski hanya seumur jagung dan mendengar penuturan orang-orang Jakarta tentangnya.

Baru beberapa pekan lalu di awal bulan ini, sebuah film biopi tentang Ahok dirilis. Berkat mempunyai teman baik yang bertugas meliput untuk desk gaya hidup, saya mendapatkan tiket gratis untuk nonton gala premiere film pada Senin, 5 November.


Film berjudul A Man Called Ahok ini diambil dari buku berjudul sama karya Rudi Valinka. Film ini fokus menceritakan kehidupan keluarga Ahok di Kecamatan Gantung, Belitung Timur. Cerita didominasi hubungan Ahok dan ayahnya, Tjoeng Kiem Nam.

Mengambil kisah mulai dari Ahok duduk di bangku SMP, film ini berakhir ketika terpilih sebagai Bupati Belitung Timur pada 2005. Sayangnya, tidak ada sepenggal saja kisah Pak Ahok dan Ibu Veronica yang disajikan.

Meski begitu, film A Man Called Ahok ini penuh inspirasi dan perjuangan. Bukan tentang kontroversi politik Pak Ahok yang tak pernah usai, namun, cerita dalam film ini lebih mengisahkan hubungan orangtua dan anak. Film ini lebih menekankan sosok Ahok sebagai anak yang dibangun karakter ayahnya. Sang ayah adalah seorang pengusaha tambang di Belitung Timur, dipanggil tauke, yang bersifat dermawan. Ahok memang sering berselisih dengan sang ayah. Namun ia juga meneladani sang ayah.

Menonton film A Man Called Ahok membuat saya berkaca-kaca. Saya teringat rumah. Di rumah, makan bersama di meja makan adalah saat kami mendengar cerita-cerita yang tersimpan. Dan di saat itu pula Bapa banyak mendoktrin kami dengan nasihat-nasihat.

Oleh sang ayah, karakter Ahok dibangun melalui hal-hal kecil rumah seperti saat duduk di meja makan hingga obrolan di tepi tambang. Dan oleh karenanya, film ini terasa bukan hanya untuk para Ahokers, tapi lebih luas dari itu. Menurut saya, film ini cocok buat kalangan mana saja, terutama keluarga dan para perantau seperti saya yang kerap lupa akan tanah asal kelahiran.

Karakter Ahok diperankan oleh Daniel Mananta yang tampak menggunakan dialek Melayu dengan cakap. Sementara itu, Ahok kecil diperankan oleh seorang remaja asli Belitung.

0 Comments